Catatan untuk Seluruh Rekan Mahasiswa
Ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan dari demokrasi: kebebasan berpendapat, keterbukaan informasi, dan jaminan hak pilih. Jika berkurang atau lemah satu dari tiga hal tersebut, maka demokrasi masuk ke dalam fase menuju keruntuhan. Bukan hanya omong kosong, karena dalam banyak literatur sejarah, fakta telah membuktikan kebenarannya. Contoh terdekat adalah Indonesia di masa pemerintahan orde baru, di mana kala itu kebebasan berpendapat layak dikatakan mati yang ditandai dengan banyaknya pembungkaman pada kalangan aktivitas hingga pembredelan media massa. Di kalangan aktivis tentunya kita tahu tentang kasus Marsinah dan Wiji Thukul, lalu dari media ada majalah Tempo yang pernah menjadi korban pembredelan.
Sejarah memang tidak pernah bisa berbohong, sistem pemerintahan demokrasi setiap kali berada dalam situasi yang tidak menguntungkan akan selalu mengarah dan kembali pada para penguasa otoriter. Selain orde baru di Indonesia, negara-negara bagian di Eropa yang merupakan tempat lahirnya demokrasi juga mengalami hal yang sama, seperti Yunani, dan di belahan lain Mesir juga mengalami pada kasus kudeta terhadap presiden terpilih Muhammad Mursi. Masih banyak lagi negara yang demokrasinya mengalami kemunduran dan tergantikan dengan kepemimpinan otoriter, di antaranya ada Chile, Argentina, Brazil, Ghana, Guatemala, Nigeria, Peru, Republik Dominika, Thailand, Uruguay dan Venezuela.
Sebagai negara yang pernah mengalami fase kepemimpinan otoriter, Indonesia tahu betul bagaimana peliknya menjalani hidup yang tidak sesuai dengan asas-asas HAM. Rentetan perlawanan yang meletus di tahun 1998 merupakan bukti dari kondisi tersebut, dari sana lahirlah satu periode baru yang kita kenal dengan reformasi. Jika dihitung hingga saat ini, 20 tahun lebih sudah reformasi bertahan dari dinamika politik yang sarat akan kepentingan, secara simbolis ia memang belum tergantikan dengan periode baru. Saat ini Indonesia masih berada dalam era reformasi, era di mana demokrasi seharusnya menjadi pilar penting sistem pemerintahan negara. Tapi di balik itu semua, reformasi kini tak lebih dari sekedar nama, esensi dari cita-cita yang dibangun oleh masyarakat serta kalangan 98 semakin jauh. Kita telah meninggalkan reformasi itu sendiri.
Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya reformasi di Indonesia. Namun dari seluruh kompleksitas tersebut, berani untuk kita sebut jika kualitas SDM menjadi poros kemunduran yang terjadi saat ini. Mengapa demikian? Karena nyatanya sistem hanyalah sebuah bentuk dari kesepakatan sosial. Biar bagaimanapun, sebagai benda mati sistem tidak dapat berbuat banyak tanpa sentuhan dari sesuatu yang hidup (red: manusia). Sistem lahir dari konsepsi yang ditawarkan manusia yang setelahnya menjadi acuan dalam menjalankan roda kehidupan manusia itu sendiri. Keduanya memang tidak dapat dipisahkan, tanpa manusia sistem tidak akan pernah ada serta tanpa sistem manusia tidak akan terarah. Namun, SDM yang berkualitas memberi andil yang besar terhadap berjalannya suatu sistem dengan baik.
Masuk pada bab SDM, pembangunan karakter dan moral berkaitan erat dengan kultur pendidikan yang ada. Di belahan dunia mana pun, puncak dari pertaruhan sukses atau tidaknya pembangunan SDM ditentukan dari bagaimana proses yang dilalui di kampus. Sehingga dalam hal ini, universitas punya peran sentral dalam menghadirkan SDM yang berintegritas, agar keberlangsungan hidup demokrasi khususnya Indonesia bisa bertahan untuk waktu yang lebih lama.
Gagal Mengawal Demokrasi, Prof. Sutrisno Tak Layak Lagi Pimpin Pembangunan di Unja
Dua tahun pasca kerusuhan di Unja (Universitas Jambi) berlalu, kini demokrasi belum jua bisa hidup berdampingan dengan kalangan civitas akademik, sungguh potret anomali yang kelam dalam perjalanan sejarah kampus pinang masak. Orang yang paling bertanggung jawab atas matinya demokrasi dua tahun lalu adalah Prof. Sutrisno beserta jajaran birokrasinya, ini bukan tudingan atas dasar sentimen ketidaksukaan, karena jika ingin dikaji dari segi mana pun dan membaca ulang konflik secara menyeluruh, maka kesimpulannya tetap lah sama.
Apa yang sebenarnya terjadi dua tahun lalu? Tumpang tindih ego siapa yang bermain? Serta kepentingan apa yang ingin dicapai? Hal ini tidak boleh dikaji dari satu sudut pandang, karena akan ada kepingan puzzle yang hilang untuk mencapai satu kesimpulan akhir. Tahun 2021, kalangan mahasiswa diperdebatkan dengan status kepengurusan eksekutif di tingkat universitas. Tentu saja perdebatan semacam ini mendorong adanya pergantian kekuasaan. Wajar untuk sebuah demokrasi menghendaki hal tersebut, karena ia lahir untuk meng-counter kekuasaan tak berujung para raja dan birokrat di masanya.
Dorongan-dorongan yang terjadi ditanggapi dengan tidak baik, bahkan gesekan yang terjadi kala itu merangsek ke aksi premanisme. Ketua MAM Unja, Agustia Gafar, dan Azril Habibi selaku Ketua Komisi 1 menjadi korban pemukulan yang dilakukan oleh oknum sopir dari WR 3, Teja Kaswari. Kasus premanisme tersebut belum mencapai ujung, bahkan hingga kini, laporan tentang adanya dugaan penganiayaan masih tetap tertahan di Polda Jambi. Parahnya lagi, aksi protes yang dilakukan mahasiswa agar birokrasi bersedia mendukung pelaksanaan Pemira (Pemilihan Mahasiswa Raya) ditanggapi dengan acuh tak acuh. Tidak hanya berkutat pada aksi brutal, kekonyolan juga diperlihatkan dengan jelas mana kala Rektor Unja, Prof. Sutrisno menutup rapat kran komunikasi dengan memblokir WA Ketua MAM selaku perpanjangan tangan mahasiswa.
Memang aneh, mematikan gerakan politik mahasiswa di kampus pasti punya tujuan tertentu, ada kepentingan yang sedang coba untuk dilindungi. Padahal sebenarnya, organisasi semacam BEM dan MAM diakui keberadaannya dengan SK Peraturan Rektor Universitas Jambi Nomor 04 tahun 2018. Adapun, hal tersebut juga didukung oleh negara dengan terbitnya Keputusan Mendikbud Nomor 155 tahun 1998 tentang pedoman umum organisasi mahasiswa di perguruan tinggi. Kekacauan demokrasi yang terjadi bahkan hingga saat ini, membuktikan bahwa Prof. Sutrisno tidak lagi pantas untuk memimpin pembangunan, problematika lingkup kecil semacam ini saja belum bisa diselesaikan secara matang.
Pembangunan tidak boleh kita artikan sempit, manakala menjadi pemimpin maka pembangunan itu harus dilaksanakan secara komprehensif. Bukan cuma gedung-gedung mewah yang menjadi tuntutan universitas, terlalu remeh tolak ukur kampus jika hanya dilihat secara Zahir. Kasus Al Zaytun yang viral belakangan menjadi contoh, apa artinya bangunan megah dengan kemiskinan intelektual dan pengetahuan peserta didik, memalukan. Harusnya kampus sama seperti yang pernah diharapkan oleh mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva, yaitu menjadi tempat untuk mengawal jalannya demokrasi.
Unja pada masa kepemimpinan Prof. Sutrisno, berada di titik nadir demokrasi, mandeknya BEM dan MAM selama hampir 2 tahun akan terus jadi preseden buruk yang akan dikenang. Menarik lagi apa yang disampaikan Hamdan Zoelva, nyatanya keberadaan serta peran demokrasi dalam dunia pendidikan sangat fundamental. Kita bisa lihat dalam UU Sisdiknas tahun 2003, di mana pada Bab III mengenai prinsip penyelenggaraan pendidikan, dari 6 prinsip yang dicantumkan, pertama kali ditekankan adalah pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis. Artinya, rentetan peristiwa kelam di Unja telah mencederai pendidikan nasional. Tentu saja kita tidak boleh final dengan pengertian jika pendidikan hanyalah proses pembelajaran di dalam kelas. Berorganisasi dan berpolitik di kampus juga merupakan pembelajaran untuk mengembangkan potensi diri. Maka menarik untuk disimpulkan, jika apa yang didapat selama menjalani proses di kampus sangat menentukan apa yang akan diberi kepada masyarakat, jangan sampai kampus mendidik mahasiswanya untuk menjadi warga yang culas.
Mengurai Benang Kusut Pemira, Menyelamatkan Demokrasi Kampus
Di tengah ketidakacuhan Prof. Sutrisno sebagai rektor, sejumlah mahasiswa mencoba menata ulang kehidupan demokrasi yang baru. Tidak mudah memang melawan arogansi kekuasaan birokrasi. Namun aksi berani yang terjadi belakangan patut diapresiasi. Langkah yang diambil untuk memulai kembali kultur demokrasi dengan dilaksanakannya Pemira memang pilihan yang benar, tapi apa yang dilaksanakan di lapangan belum bisa dikatakan tepat. Karena pada dasarnya, demokrasi juga terikat dengan perjanjian-perjanjian yang telah diatur bersama sebagai penentu arah kehidupan, atau biasa kita sebut dengan konstitusi.
Maka seharusnya, upaya untuk menyemai kembali bibit demokrasi berpatok pada konstitusi yang masih ada dan berlaku. Pemira tidak boleh diadakan secara parsial dalam kondisi kekosongan penuh seperti saat ini, sebab akan mencederai asas keadilan dan kesamaan di mata hukum. Banyak kecemburuan yang timbul manakala beberapa fakultas pada akhirnya tidak dapat mengecap kebahagiaan saat menikmati pesta demokrasi. Bahkan sejak sebelumnya pun, Unja memang selalu melakukan pergantian secara serentak. Jika pun melihat kembali UUD KBM Unja tahun 2021, pada Bab VI pasal 12 dijelaskan, pelaksanaan Pemilu dilakukan secara serentak dan menyeluruh di semua tingkatan baik universitas maupun fakultas terkecuali FKIK. Artinya, apa yang sedang terjadi saat memang benar-benar berada di jalur yang jauh, tidak beraturan untuk ukuran kampus yang notabene adalah tempat di mana administrasi berlangsung.
Pemaksaan jalur yang dilalui kini menuai hasil pahit, Fakultas Peternakan dan FKIP jadi dua sampel pertama yang merasakannya. Pelaksanaan dengan aturan yang tidak jelas, atau bahkan aturan yang timbul karena dorongan kepentingan sesaat berdampak pada kecurangan yang terstruktur dan sistematis, sehingga memaksa Fakultas Peternakan terbuang tanpa kepemimpinan di tingkat mahasiswa. Kini, FKIP juga akan menyusul dengan status kondisi yang sama. Karena mustahil mengesahkan Pemilu dengan kecurangan yang terang, cambukan memalukan bagi petinggi tingkat Fakultas jika terlalu memaksakan hal tersebut.
Ketua KPU FKIP, Muammar menyampaikan dalam rilis resminya jika indikasi kecurangan dilihat dari alamat IP pemilihan yang dapat mengakses banyak akun. Artinya hal ini telah melanggar asas pemilihan yang tercantum dalam UU Pemira KBM Unja tahun 2021, bahkan secara kultur Pemilu skala nasional pun hal ini jelas berbenturan. Asas yang dimaksud adalah langsung, di mana asas itu selalu ditekankan pada kalimat awal dari singkatan Luber Jurdil, sebab langsung merupakan penentu asas-asas setelahnya. Ditilik dari berbagai perspektif, langsung dalam pemilihan mengacu pada satu pengertian di mana pemilih memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
Maka jika ada alamat IP yang dapat mengakses multi akun, tentu hal itu tidak langsung, terlepas dari apa hal tersebut dilakukan dengan sukarela atas pemohon pemilih atau bahkan dengan paksaan. Sekali melanggar tetaplah salah, tidak ada toleransi. Mengapa asas langsung menjadi sentral dalam pemilihan, sebab jika pemilihan tidak dilakukan secara langsung, maka asas jujur dan adil dipertaruhkan keabsahannya. Begitu juga dengan asas-asas lainnya, langsung merupakan koentji dari pelaksanaan Pemilu yang baik.
Menarik satu kesimpulan dari banyaknya problematika yang terjadi, maka kembali pada koridor hukum yang benar adalah langkah awal yang tepat. Seluruh elemen mahasiswa wajib berada pada garis perjuangan yang sebenarnya, membuang ego kelompok untuk mencapai satu tujuan yaitu menghidupkan kembali demokrasi di Unja, sebab saya, kalian, dan kita semua bertanggung jawab untuk menghadirkan arena pertarungan gagasan dan ide yang baik tanpa adanya kecurangan untuk generasi yang akan datang. Jangan sampai kita tergabung dalam barisan mahasiswa yang bangga dengan kultur kecurangan dan ego tak terbatas.
Mencari Solusi Permasalahan, Pertaruhan Integritas Prof. Sutrisno
“Perlakuan paling konyol yang sering diterima sejarah adalah manusia tak pernah mau belajar darinya,” (G.W.F Hegel).
Dua tahun sudah sejak kegagalan Prof. Sutrisno mengawal keberlanjutan demokrasi di Unja. Kini dengan permasalahan yang timbul di Fakultas Peternakan dan FKIP, wajib bagi Prof. Sutrisno untuk mulai memberikan perhatiannya. Tidak sulit, hanya perlu memastikan suksesi berjalan sebagai mestinya, jujur dan sesuai dengan landasan demokrasi, yaitu dari, oleh dan untuk. Dalam SK Kemendikbud tahun 1998, hal tersebut ditegaskan pada pasal 2, yang berbunyi; organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.
Langkah yang perlu diambil saat ini adalah menghidupkan kembali partai dan menghadirkan kembali forum KBM. Prof. Sutrisno dan jajarannya, termasuk Teja Kaswari tidak perlu repot-repot untuk ikut mengambil kebijakan, cukup dengan memfasilitasi berjalannya agenda. Karena amanah dalam SK Kemendikbud menegaskan jika keseluruhan peran harus melalui mahasiswa. Dari forum KBM yang dihadirkan pokok pembahasan mahasiswa hanya sebatas bagaimana teknis pelaksanaan Pemira, dengan menentukan KPU, Bawaslu dan tim sejenis jika memang harus terlibat, terpenting adalah komitmen untuk bersama-sama menjalankan Pemira yang jujur dan adil.
Mengenai pelaksanaan, website E-Pemira belum siap untuk menjadi pengganti kotak suara. Pemira wajib dilaksanakan dengan cara konvensional, sebab tidak ada lagi alasan untuk menghindari massa berkumpul seperti di zaman Covid. Selain itu, Pemira konvensional juga untuk menekan adanya indikasi kecurangan, pelaksanaan Pemira Fakultas Peternakan dan FKIP cukuplah menjadi senyata-nyatanya pembelajaran. Semoga tidak ada lagi kebebalan di kalangan mahasiswa, apa lagi birokrasi. Jika masih saja dipaksakan melalui E-Pemira, tentu sejak awal pelaksanaan tidak sehat, ada pihak yang sedang bermain-main dengan kepentingan kelompok.
*Penulis saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa aktif program S1