Politik Indonesia telah mengalami pergeseran paradigma yang signifikan sejak era kemerdekaan hingga masa reformasi. Jika pada awal kemerdekaan (1945–1960), Tan Malaka memperkenalkan “logika mistika”—sebuah pemikiran politik yang berakar pada semangat revolusioner dan idealisme kerakyatan—maka di era kontemporer (terutama pasca-Reformasi 1998), politik Indonesia justru didominasi oleh “logika logistika”, di mana kekuatan finansial menjadi penentu utama kemenangan elektoral. Pertanyaannya adalah: Bagaimana transformasi dari politik berbasis ideologi menuju politik berbasis transaksi material ini terjadi? Apa implikasinya terhadap masa depan demokrasi Indonesia?
Logika Mistika: Warisan Pemikiran Tan Malaka
Logika Mistika Tan Malaka bukanlah mistisisme irasional, melainkan sintesis antara rasionalitas revolusioner dan spiritualitas perjuangan. Dalam “Madilog” (1943), ia menolak dogmatisme buta dan menekankan pentingnya pemikiran kritis, tetapi juga percaya bahwa perjuangan politik memerlukan “jiwa” yang melampaui logika formal. Pada masa awal kemerdekaan, semangat ini terwujud dalam gerakan anti-kolonial yang mengutamakan solidaritas rakyat.
Namun, mengapa ‘logika mistika’ tidak bertahan? Salah satu penyebabnya adalah “fragmentasi elite pasca-Revolusi”, di mana kelompok-kelompok politik saling berebut kekuasaan tanpa konsensus ideologis yang kuat. Soekarno mencoba mempertahankannya melalui *Nasakom*, tetapi upaya ini gagal akibat konflik politik 1965.
Logika Logistika: Politik Uang dan Oligarki
Pasca-Reformasi 1998, demokrasi Indonesia dirayakan sebagai kemenangan rakyat. Namun, dalam praktiknya, sistem elektoral justru dikendalikan oleh ‘logika logistika’ sebuah mekanisme di mana kekuatan politik diukur dari kemampuan finansial untuk membeli dukungan.
Beberapa indikatornya:
1. Money Politics: Calon legislatif dan eksekutif mengalokasikan dana besar untuk “serangan fajar” atau bagi-bagi sembako.
2. Oligarki Elektoral: Partai politik dikuasai oleh segelintir orang kaya yang memanfaatkan jabatan untuk mengamankan kepentingan ekonomi.
3. Komodifikasi Suara: Rakyat tidak lagi memilih berdasarkan program, melainkan imbalan material.