Di balik meja kayu itu, duduk seseorang yang kami sebut “ilmuwan”. Ia bergelar akademik tinggi, memiliki daftar publikasi yang panjang, dan suara lantangnya selalu didengar mahasiswa. Tapi sayangnya, kami tahu di balik tumpukan kertas dan silabus terselip harga yang harus kami bayar, bukan dengan otak, tapi dengan uang.

Fenomena pungutan liar di lingkungan kampus bukan isapan jempol. Ia hidup dan bernapas bersama sistem. Ironisnya, terkadang pelakunya justru mereka yang mengajar kami tentang etika, integritas, dan moralitas. “Kalau mau cepat urus nilai, ikut seminar ini, bayar sekian.” “Kalau tidak ikut study tour, siap-siap remedial.” Bahkan ada yang lebih vulgar: “Ada Uang Capek Untuk saya? Sukarelanya aja tanda menghargai saya,tapi biasa nya kawan² ngasih sekian²” dengan senyum yang penuh makna.

Lebih miris lagi, tidak ada mekanisme kontrol yang tegas dari pihak kampus. Seolah semua ini dianggap biasa. Tak terdengar ada sanksi. Tak ada sistem pelaporan yang aman dan serius ditindaklanjuti. Bahkan ketika mahasiswa ingin melapor, yang timbul justru rasa takut: takut dibalas dendam secara akademik, takut dimusuhi dosen, takut jadi korban sistem. Maka suara-suara kami hanya bergaung di grup tertutup, atau sesekali jadi bahan candaan getir di warung kopi sekitar kampus.

Apa yang terjadi pada ruang kuliah yang katanya suci? Dulu kami datang dengan semangat ingin menimba ilmu. Kini kami pulang dengan resah dan tanya: apakah kami sedang kuliah, atau sedang menjadi korban sistem yang dikomersialkan?