Luka di Bibir Rifki Adalah Cermin Retaknya Dunia Pendidikan Kita

Oleh: Heru Primasatya

Dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi taman yang aman bagi anak-anak, kembali tercoreng. Rifki Ananda, seorang siswa kelas 6 SDN 021 Pematang Raman, diduga menjadi korban kekerasan fisik oleh gurunya sendiri, Tri Wulandari.

Jika awalnya dugaan ini dianggap sebagai “kesalahpahaman”, kini kebenaran berbicara melalui hasil visum: terdapat luka di bibir Rifki akibat benda tumpul dan keluhan sakit kepala yang dideritanya.

Ini bukan lagi sekadar tuduhan. Ini adalah fakta medis. Fakta bahwa Rifki mengalami luka fisik dan trauma, memperkuat keyakinan bahwa kekerasan benar-benar terjadi di ruang yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter, bukan perusakan martabat.

Dalam perspektif hukum, kasus ini sudah memenuhi unsur pidana kekerasan terhadap anak sebagaimana diatur dalam:

Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak:
“Setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.”

Dan juga:

Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan:
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, atau denda.”

Keluhan sakit kepala Rifki mempertegas bahwa dampak kekerasan ini tidak hanya luka luar, tetapi juga potensi luka internal yang perlu dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.

Baca juga:  Politic is Everything

Pertanyaannya sederhana: apakah kekerasan terhadap anak bisa dimaafkan hanya dengan alasan “kesalahpahaman” atau “emosi sesaat”?
Jawabannya: tidak.
Tidak dalam konteks etika. Tidak dalam konteks hukum.

Infografis. (OMG Network)
Infografis. (OMG Network)

Bahkan jika Rifki melontarkan kata-kata kasar saat proses razia, guru tetap tidak berhak membalasnya dengan kekerasan fisik.

Mengelola emosi adalah syarat mutlak seorang pendidik. Seorang guru bukan hanya mengajar matematika atau bahasa Indonesia — mereka mengajarkan nilai, menjadi panutan sikap, memperlihatkan kontrol diri. Ketika seorang guru gagal mengontrol dirinya, maka nilai yang diajarkannya gugur bersama tindakan buruknya.

Baca juga:  Ilegal dan Seluk-beluknya Itu Seksi, Iyakan Bos?

Lebih berbahaya lagi adalah usaha untuk “menyelesaikan secara kekeluargaan” atas insiden ini.

Penting untuk ditegaskan: kekerasan terhadap anak adalah delik umum. Artinya, sekalipun korban dan pelaku bersepakat berdamai, proses hukum harus tetap berjalan. Negara wajib hadir membela hak anak yang telah dilanggar.

Jika kita membiarkan kasus ini berlalu begitu saja, kita tengah mengirimkan pesan berbahaya kepada seluruh dunia pendidikan:
Bahwa kekerasan bisa ditoleransi. Bahwa pelanggaran terhadap hak anak bisa dinegosiasikan.
Bahwa luka fisik dan trauma psikis seorang anak bisa dianggap “urusan kecil”.

Baca juga:  Rayakan Jum'at Agung, Gereja Santa Teresia Jambi Hadirkan Tablo Kisah Sengsara Yesus Kristus

Padahal, luka seperti yang dialami Rifki — luka di bibirnya, sakit di kepalanya, ketakutan di jiwanya — bisa menjadi beban sepanjang hidup jika kita tidak bertindak tegas hari ini.

Anak-anak adalah amanah negara. Menyakiti satu anak berarti menghancurkan bagian dari masa depan bangsa.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan adil, profesional, dan tanpa intervensi kompromi apapun. Dunia pendidikan harus kembali disucikan dari segala bentuk kekerasan — sekecil apapun itu.

Rifki bukan sekadar satu nama dalam berita.
Ia adalah suara dari banyak anak-anak lain yang menuntut perlindungan, penghargaan, dan keadilan.

Jangan biarkan luka Rifki menjadi luka kita semua.