LEGAL dan ILEGAL, dua cap yang saling berseberangan. Yang satu merupakan produk yang mendapat pengakuan sah dari negara sementara satunya lagi tidak. Sederhananya dia hanyalah konsep yang dipakai oleh kekuasaan untuk melegitimasi aktivitas peredarannya.
Yang ilegal ini kerap jadi isu seksi, kadang dia dimunculkan dan didengungkan di berbagai media sosial oleh orang-orang tertentu dengan narasi bahwa terdapat sosok penyelundup dan backing atau penyokong guna memastikan peredaran barang ilegal aman terkendali sampai pada unsur konsumen terkecilnya.
Rokok ilegal misalnya, baik yang menggunakan pita cukai palsu atau bahkan tidak sama sekali. Sebut aja merek Luffman, Smith, Slava, dan lain-lain. Sudah jadi rahasia umum kalau barang yang ini lancar jaya peredarannya. Dan jujur saja, ada banyak masyarakat kelas bawah yang jadi terbantu olehnya. Sederhananya mereka bisa merokok dengan harga yang terjangkau.
Namun bicara hukum, rokok atau barang apapun yang dicap ilegal ini ya jelas dilarang, sanksi hukumnya bukan main. Bisa pidana penjara atau bahkan skema denda hingga 3 kali lipat dari harga barangnya sebagaimana dilihat dalam regulasi perundang-undangan terkait yang mengaturnya.
Lalu siapa yang patut dipersalahkan jika sudah seruwet ini? Jika anda berpikir bahwa pemasok atau penyelundup dan aparat penegak hukum yang harus bertanggungjawab. Mungkin ini ada benarnya, walau tidak sepenuhnya bisa dibenarkan.
Bayangkan aktivitas ilegal ini sudah semacam kalung rantai yang tak ada putusnya mulai dari pabrik suplayer utama barang ilegalnya, pekerja, bos penyelundup, oknum APH, hingga masyarakat. Suplay and Demand, disini siklus roda perekonomian juga terus berputar. Bedanya dalam skema ini negara tidak kebagian pajaknya secara langsung. Duit dari aktivitas ilegalnya ya masuk ke pundi-pundi para pemain itu.
Lalu haruskah bagaimana solusinya, upaya penindakan? Beberapa orang pesimis dengan langkah ini. Sebab berpikir bahwa masalah perilegal-ilegalan ini tak lepas dari oknum-oknum berseragam sehingga sangat sulit untuk ditindak.
Namun sebenarnya persoalan ini lebih dari masalah oknum semata. Selagi suplay and demand masih ada, maka penindakan terhadap pabrik atau penyelundup bukan jaminan praktek bisnis ilegal akan stop. Kembali lagi pada prinsip ekonomi, ketika ada kebutuhan dari konsumen dan ada ruang rentan daripada sistem, mereka akan terus bertumbuh dan berkembang.
Tak peduli sanksi apa yang menanti, namun di negeri konoha ini memang begitulah dunia bekerja. Artinya, ketika aparat menindak pemain besar dalam bisnis ilegal ini, pemain-pemain baru dengan pola-pola baru juga akan bermunculan. Upaya penindakan pun tak akan ada hentinya.
Sejauh ini kacamata penulis melihat bahwa aparat hanya bisa mengunci bisnis ilegal ini pada sosok-sosok bos tertentu. Karna kalau tidak, akan menjamur dan efeknya terlalu besar. Lalu siapakah mereka (para pemain dalam bisnis ilegal) yang sudah dikunci/diamankan? Dan siapa saja oknum-oknum berseragam yang deal dengan para mafia itu?
Jawaban pertanyaan yang ini, jawab dalam diri sendiri saja dulu. Nanti kita kupas lagi kalau perlu.
*Wartawan tinggal di Jambi.