Jakarta — Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memastikan tarif MRT Jakarta dan LRT tidak akan mengalami kenaikan, meski tengah dilakukan efisiensi subsidi transportasi menyusul pemangkasan dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah.

“Saya pastikan tarif MRT dan LRT tidak naik. Kajian terhadap willingness to pay (kesediaan membayar) dan ability to pay (kemampuan membayar) menunjukkan bahwa tarif yang berlaku saat ini masih sesuai dengan kemampuan masyarakat,” ujar Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, dalam Media Fellowship Program MRT Jakarta 2025 di Jakarta, Kamis (9/10), dikutip dari Antara.

Syafrin menjelaskan, berdasarkan perhitungan tahun lalu, tarif keekonomian MRT Jakarta seharusnya mencapai Rp13.000, sedangkan tarif yang berlaku saat ini hanya Rp7.000. Artinya, setiap penumpang masih menerima subsidi rata-rata sekitar Rp6.000.

Angka tersebut, kata Syafrin, masih sesuai dengan skema subsidi transportasi yang telah dirancang pemerintah daerah.

Namun, kondisi berbeda terjadi pada Transjakarta. Syafrin menyebut, tarif Transjakarta terakhir kali ditetapkan pada 2005, yakni Rp3.500. Dalam kurun dua dekade, upah minimum provinsi (UMP) telah naik enam kali lipat dan inflasi kumulatif mencapai 186,7 persen.

Berdasarkan analisis itu, penyesuaian tarif Transjakarta dinilai perlu dilakukan demi menjaga keberlanjutan operasional.

Cost recovery Transjakarta turun dari 34 persen pada 2015 menjadi 14 persen saat ini. Artinya biaya yang dibutuhkan untuk menutup operasional semakin tinggi. Tapi belum ada angka pasti (penyesuaiannya), masih terus dikaji,” jelas Syafrin.

Cost recovery menggambarkan seberapa besar biaya operasional yang dapat ditutup dari tarif penumpang, sementara sisanya ditanggung pemerintah melalui subsidi (PSO).

Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PT MRT Jakarta, Tuhiya, menjelaskan bahwa untuk rute Bundaran HI–Lebak Bulus, nilai keekonomian perjalanan mencapai Rp32.000, sedangkan tarif penumpang hanya Rp14.000.

Selisih Rp18.000 ditanggung pemerintah lewat skema public service obligation (PSO).

“Agar perusahaan tetap berkelanjutan, kami mengembangkan pendapatan dari sektor non-farebox,” ujar Tuhiya.

MRT Jakarta kini memperluas sumber pendapatannya di luar tiket, seperti melalui penamaan stasiun (naming rights), penyewaan ruang ritel dan komersial, serta aktivitas digital dan media.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menyatakan bahwa Pemprov DKI akan mengulas kembali skema subsidi transportasi umum sebagai bagian dari efisiensi anggaran setelah adanya pemangkasan dana transfer dari pemerintah pusat.

Meski demikian, Pramono menegaskan kajian itu tidak serta-merta berarti kenaikan tarif transportasi umum di Jakarta.

“Subsidi transportasi kita besar sekali, tapi bukan berarti tarif akan langsung dinaikkan. Ini hanya contoh,” ujar Pramono, Senin (6/10).

Ia menambahkan, besaran subsidi transportasi umum di Jakarta mencapai hampir Rp15.000 per orang, sehingga perlu ditinjau ulang agar tetap seimbang dengan kondisi fiskal daerah, tanpa mengorbankan aksesibilitas layanan publik.

Adapun pemangkasan dana transfer ke daerah, termasuk dana bagi hasil (DBH), membuat proyeksi APBD DKI Jakarta 2025 turun signifikan dari Rp95,35 triliun menjadi Rp79,03 triliun.