Mengutip perkataan W.S. Rendra: Kesunyian adalah suara yang tak terpadamkan. Dan malam itu, kesunyian dari Timur diubah menjadi gema. Goresan-goresan yang mereka tampilkan bukan hanya tentang budaya, tapi tentang keresahan, impian, dan cinta pada tanah asal.
Kegiatan ini menjadi contoh nyata bahwa mahasiswa bisa menciptakan narasi berbeda. Mereka tak menunggu ruang, mereka menciptakannya. Mereka tak meminta panggung, mereka membangunnya dari jalanan, dari tugu kota, dari iringan suara yang tulus dan lantang.
Papua, NTT, Sulawesi Selatan—tiga daerah yang kadang terlupakan di narasi besar bangsa ini—malam itu hadir dan bicara dalam satu panggung, satu semangat, dan satu suara: bahwa dari Timur, semangat itu tetap bersemi.
Arjuna Sekertaris Bidang Pengkajian dan Kebijakan Organisasi Ikami yang tidak hadir pada saat itu namun tetap memantau dari jauh dan mengatakan, ini bukan sekadar soal dana. Ini tentang menyalakan semangat. Tentang bagaimana mahasiswa di tanah rantau bisa saling menggenggam, saling membesarkan, dan tetap menjadi lilin di tengah gelapnya Zaman.
Aksi ini semestinya jadi cermin bagi kita semua, bahwa perubahan tidak lahir dari kenyamanan, tapi dari keberanian. Dan keberanian itu, malam minggu lalu, terpancar terang dari wajah-wajah mahasiswa di Tugu Kris—yang memilih berkarya dan berjuang, alih-alih berpangku tangan. (*)