SABTU malam biasanya hanya jadi latar dari hingar-bingar hiburan anak muda. Namun malam minggu kemarin di Tugu Kris, Kota Jambi, ada pemandangan yang berbeda. Musik tak hanya dimainkan, tapi diceritakan. Puisi tak sekadar dibacakan, tapi dirasakan. Tarian tak hanya ditampilkan, tapi mengajak kita merenung. Di sinilah mahasiswa asal Papua, NTT, dan IKAMI Sulsel Cabang Jambi bersatu dalam sebuah aksi galang dana dan pentas seni, demi menyukseskan kegiatan bersama yang akan digelar pada Oktober mendatang.

Aksi ini bukan hanya soal uang. Ini tentang pesan, tentang identitas, tentang keberanian menceritakan Timur yang selama ini dianggap jauh, asing, dan terlupakan. Di tengah terik perjuangan dan angin kota yang tak selalu ramah, mereka menegakkan satu hal: bahwa mahasiswa dari timur tak datang untuk diam. Mereka datang untuk berbicara lewat seni, suara, dan solidaritas.

“Kita tidak sedang mengemis belas kasihan, kita sedang menyusun langkah dengan cara kita sendiri—seni, budaya, dan solidaritas adalah cara paling manusiawi untuk menjangkau hati,” ucap *ILHAM, Ketua Umum IKAMI Sulsel Cabang Jambi, dalam sambutannya malam itu.

Tugu Kris yang biasanya menjadi titik temu warga berubah menjadi panggung perjuangan. Ada akustik dari Papua, puisi perlawanan dari NTT, dan tarian adat Sulawesi Selatan yang berpadu membentuk satu irama: irama perlawanan yang lembut namun menggedor. Sebuah bentuk perlawanan terhadap apatisme, terhadap lupa akan akar, terhadap stigma bahwa mahasiswa hanya diam dan pasrah.

Mengutip perkataan W.S. Rendra: Kesunyian adalah suara yang tak terpadamkan. Dan malam itu, kesunyian dari Timur diubah menjadi gema. Goresan-goresan yang mereka tampilkan bukan hanya tentang budaya, tapi tentang keresahan, impian, dan cinta pada tanah asal.

Kegiatan ini menjadi contoh nyata bahwa mahasiswa bisa menciptakan narasi berbeda. Mereka tak menunggu ruang, mereka menciptakannya. Mereka tak meminta panggung, mereka membangunnya dari jalanan, dari tugu kota, dari iringan suara yang tulus dan lantang.

Papua, NTT, Sulawesi Selatan—tiga daerah yang kadang terlupakan di narasi besar bangsa ini—malam itu hadir dan bicara dalam satu panggung, satu semangat, dan satu suara: bahwa dari Timur, semangat itu tetap bersemi.

Arjuna Sekertaris Bidang Pengkajian dan Kebijakan Organisasi Ikami yang tidak hadir pada saat itu namun tetap memantau dari jauh dan mengatakan, ini bukan sekadar soal dana. Ini tentang menyalakan semangat. Tentang bagaimana mahasiswa di tanah rantau bisa saling menggenggam, saling membesarkan, dan tetap menjadi lilin di tengah gelapnya Zaman.

Aksi ini semestinya jadi cermin bagi kita semua, bahwa perubahan tidak lahir dari kenyamanan, tapi dari keberanian. Dan keberanian itu, malam minggu lalu, terpancar terang dari wajah-wajah mahasiswa di Tugu Kris—yang memilih berkarya dan berjuang, alih-alih berpangku tangan. (*)