Mengurai Benang Kusut Pemira, Menyelamatkan Demokrasi Kampus

Di tengah ketidakacuhan Prof. Sutrisno sebagai rektor, sejumlah mahasiswa mencoba menata ulang kehidupan demokrasi yang baru. Tidak mudah memang melawan arogansi kekuasaan birokrasi. Namun aksi berani yang terjadi belakangan patut diapresiasi. Langkah yang diambil untuk memulai kembali kultur demokrasi dengan dilaksanakannya Pemira memang pilihan yang benar, tapi apa yang dilaksanakan di lapangan belum bisa dikatakan tepat. Karena pada dasarnya, demokrasi juga terikat dengan perjanjian-perjanjian yang telah diatur bersama sebagai penentu arah kehidupan, atau biasa kita sebut dengan konstitusi.

Maka seharusnya, upaya untuk menyemai kembali bibit demokrasi berpatok pada konstitusi yang masih ada dan berlaku. Pemira tidak boleh diadakan secara parsial dalam kondisi kekosongan penuh seperti saat ini, sebab akan mencederai asas keadilan dan kesamaan di mata hukum. Banyak kecemburuan yang timbul manakala beberapa fakultas pada akhirnya tidak dapat mengecap kebahagiaan saat menikmati pesta demokrasi. Bahkan sejak sebelumnya pun, Unja memang selalu melakukan pergantian secara serentak. Jika pun melihat kembali UUD KBM Unja tahun 2021, pada Bab VI pasal 12 dijelaskan, pelaksanaan Pemilu dilakukan secara serentak dan menyeluruh di semua tingkatan baik universitas maupun fakultas terkecuali FKIK. Artinya, apa yang sedang terjadi saat memang benar-benar berada di jalur yang jauh, tidak beraturan untuk ukuran kampus yang notabene adalah tempat di mana administrasi berlangsung.