Pembangunan tidak boleh kita artikan sempit, manakala menjadi pemimpin maka pembangunan itu harus dilaksanakan secara komprehensif. Bukan cuma gedung-gedung mewah yang menjadi tuntutan universitas, terlalu remeh tolak ukur kampus jika hanya dilihat secara Zahir. Kasus Al Zaytun yang viral belakangan menjadi contoh, apa artinya bangunan megah dengan kemiskinan intelektual dan pengetahuan peserta didik, memalukan. Harusnya kampus sama seperti yang pernah diharapkan oleh mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva, yaitu menjadi tempat untuk mengawal jalannya demokrasi.

Unja pada masa kepemimpinan Prof. Sutrisno, berada di titik nadir demokrasi, mandeknya BEM dan MAM selama hampir 2 tahun akan terus jadi preseden buruk yang akan dikenang. Menarik lagi apa yang disampaikan Hamdan Zoelva, nyatanya keberadaan serta peran demokrasi dalam dunia pendidikan sangat fundamental. Kita bisa lihat dalam UU Sisdiknas tahun 2003, di mana pada Bab III mengenai prinsip penyelenggaraan pendidikan, dari 6 prinsip yang dicantumkan, pertama kali ditekankan adalah pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis. Artinya, rentetan peristiwa kelam di Unja telah mencederai pendidikan nasional. Tentu saja kita tidak boleh final dengan pengertian jika pendidikan hanyalah proses pembelajaran di dalam kelas. Berorganisasi dan berpolitik di kampus juga merupakan pembelajaran untuk mengembangkan potensi diri. Maka menarik untuk disimpulkan, jika apa yang didapat selama menjalani proses di kampus sangat menentukan apa yang akan diberi kepada masyarakat, jangan sampai kampus mendidik mahasiswanya untuk menjadi warga yang culas.