Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya reformasi di Indonesia. Namun dari seluruh kompleksitas tersebut, berani untuk kita sebut jika kualitas SDM menjadi poros kemunduran yang terjadi saat ini. Mengapa demikian? Karena nyatanya sistem hanyalah sebuah bentuk dari kesepakatan sosial. Biar bagaimanapun, sebagai benda mati sistem tidak dapat berbuat banyak tanpa sentuhan dari sesuatu yang hidup (red: manusia). Sistem lahir dari konsepsi yang ditawarkan manusia yang setelahnya menjadi acuan dalam menjalankan roda kehidupan manusia itu sendiri. Keduanya memang tidak dapat dipisahkan, tanpa manusia sistem tidak akan pernah ada serta tanpa sistem manusia tidak akan terarah. Namun, SDM yang berkualitas memberi andil yang besar terhadap berjalannya suatu sistem dengan baik.

Masuk pada bab SDM, pembangunan karakter dan moral berkaitan erat dengan kultur pendidikan yang ada. Di belahan dunia mana pun, puncak dari pertaruhan sukses atau tidaknya pembangunan SDM ditentukan dari bagaimana proses yang dilalui di kampus. Sehingga dalam hal ini, universitas punya peran sentral dalam menghadirkan SDM yang berintegritas, agar keberlangsungan hidup demokrasi khususnya Indonesia bisa bertahan untuk waktu yang lebih lama.

Gagal Mengawal Demokrasi, Prof. Sutrisno Tak Layak Lagi Pimpin Pembangunan di Unja

Dua tahun pasca kerusuhan di Unja (Universitas Jambi) berlalu, kini demokrasi belum jua bisa hidup berdampingan dengan kalangan civitas akademik, sungguh potret anomali yang kelam dalam perjalanan sejarah kampus pinang masak. Orang yang paling bertanggung jawab atas matinya demokrasi dua tahun lalu adalah Prof. Sutrisno beserta jajaran birokrasinya, ini bukan tudingan atas dasar sentimen ketidaksukaan, karena jika ingin dikaji dari segi mana pun dan membaca ulang konflik secara menyeluruh, maka kesimpulannya tetap lah sama.