Desa, sebagai unit terkecil pemerintahan, seharusnya menjadi cerminan ideal demokrasi. Pilkades, sebagai proses pemilihan pemimpin desa secara langsung, menawarkan janji besar: kekuasaan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat. Namun, realita di lapangan seringkali jauh dari ideal. Celah antara demokrasi ideal dan praktik politik desa yang sebenarnya perlu kita telaah lebih dalam.
Salah satu masalah utama adalah keterbatasan akses informasi dan pendidikan politik di tingkat desa. Banyak warga desa yang kurang memahami proses politik, hak-hak mereka, dan bagaimana mereka dapat berpartisipasi secara efektif. Hal ini menciptakan kerentanan terhadap manipulasi dan praktik politik yang tidak sehat, seperti politik uang dan politik identitas. Akibatnya, pilihan yang mereka buat bukan didasari oleh pemahaman rasional, melainkan tekanan sosial atau iming-iming materi.
Kemudian, struktur kekuasaan yang masih kaku di beberapa desa juga menjadi penghalang. Adanya patronase, dimana segelintir elit mengendalikan sumber daya dan informasi, menciptakan ketidaksetaraan dan menghambat partisipasi warga secara merata. Warga yang kritis atau berbeda pendapat seringkali termarginalkan, membuat suara mereka tak terdengar.
Selain itu, lemahnya pengawasan dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa juga menjadi masalah serius. Transparansi yang minim memungkinkan terjadinya korupsi dan penyelewengan dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini bukan hanya merugikan secara finansial, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa.