Gorontalo – Langkah Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Gorontalo Utara, Thamrin Monoarfa, melaporkan warga ke polisi hanya karena disebut “papancuri” dalam aksi demonstrasi, kembali memantik kritik tajam publik.

Di tengah situasi hukum yang mulai menyorot dugaan penyimpangan anggaran di instansinya, laporan tersebut dinilai sebagai bentuk defensif dan anti kritik dari seorang pejabat publik yang sedang kehilangan legitimasi moral.

Ketika Pejabat Anti Kritik di Tengah Sorotan Hukum

Publik tentu masih ingat, pada 8 September 2025, Thamrin Monoarfa dipanggil oleh Kejaksaan Negeri Gorontalo Utara untuk dimintai keterangan terkait dugaan penyalahgunaan anggaran kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD).

Dalam pemeriksaan itu, handphone pribadi Kadis PMD turut disita sebagai barang bukti, menandakan bahwa kasus tersebut sudah memasuki tahap penyelidikan serius.

Di tengah bayang-bayang kasus tersebut, publik menilai bahwa pelaporan terhadap aktivis atau warga hanyalah upaya pengalihan isu dari tekanan hukum yang kini mengarah ke dinas yang dipimpinnya.

Bukan kebetulan jika laporan itu muncul hanya beberapa minggu setelah pemeriksaan oleh Kejaksaan.

Demokrasi Tidak Bisa Dikriminalkan

Kata “papancuri” yang diucapkan dalam orasi publik bukan sekadar hinaan, tetapi kritik simbolik atas praktik birokrasi yang dianggap menyimpang.

Dalam konteks kebebasan berekspresi, hal tersebut dilindungi oleh Pasal 28E UUD 1945 dan ditegaskan kembali oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang menyatakan bahwa pejabat publik tidak boleh menggunakan pasal pencemaran nama baik untuk membungkam kritik rakyat.