Di Indonesia hari ini, kebenaran tidak dibantah—ia dikalahkan oleh keramaian. Ia tidak salah, hanya tidak cukup viral. Dalam lomba antara fakta dan emosi, fakta selalu datang terlambat, kelelahan, dan sering kali sudah tidak dibutuhkan.

Satu video berdurasi puluhan detik kini cukup untuk membentuk kesimpulan nasional. Tidak perlu konteks, tidak perlu klarifikasi, apalagi verifikasi. Publik tidak bertanya “apa yang sebenarnya terjadi”, melainkan “siapa yang harus kita marahi hari ini”. Dan setelah itu, tombol share ditekan dengan penuh keyakinan moral.

Pola ini bukan hal baru, dan terlalu sering berulang untuk disebut kebetulan. Seseorang direkam, dipotong, diberi narasi emosional, lalu disebar. Dalam hitungan jam, ia berubah status: dari warga biasa menjadi simbol keburukan. Beberapa hari kemudian, fakta lain muncul—rekaman lanjutan, penjelasan saksi, atau konteks yang sebelumnya hilang. Tapi semuanya sudah terlambat. Penghakiman publik sudah selesai menjalankan tugasnya.

Fakta sosialnya jelas: ada orang yang kehilangan pekerjaan, reputasi, dan rasa aman hanya karena viral. Dan ketika kebenaran akhirnya muncul, ia tidak pernah mendapat panggung sebesar kesalahan pertama. Klarifikasi tidak pernah seviral tuduhan. Ini bukan asumsi, ini pola.

Media sosial telah melahirkan bentuk baru keadilan instan. Tidak ada proses, tidak ada pembuktian, tidak ada hak jawab yang setara. Netizen bertindak sebagai jaksa, hakim, sekaligus algojo—tanpa tanggung jawab apa pun setelah vonis dijatuhkan. Dalam sistem ini, emosi adalah bukti, dan kemarahan adalah legitimasi.

Yang lebih problematik, negara sering kali ikut menari mengikuti irama viral. Aparat bergerak setelah isu ramai, bukan setelah laporan masuk. Seolah penderitaan yang tidak trending belum cukup layak ditangani. Maka publik belajar satu hal yang pahit tapi rasional: jika ingin keadilan, buatlah masalahmu viral. Jika tidak, bersiaplah menunggu dalam sunyi.

Ironi ini nyata. Banyak kasus baru mendapat perhatian serius setelah linimasa gaduh. Bukan karena substansinya, tetapi karena tekanannya. Viral telah menjadi mekanisme pemicu negara. Keadilan pun bergantung pada algoritma.

Media tidak sepenuhnya bersih dari ini. Judul dipertajam, narasi disederhanakan, emosi didahulukan. Bukan karena jahat, tetapi karena tuntutan klik. Dalam ekonomi perhatian, kompleksitas dianggap tidak laku. Padahal hidup tidak pernah sesederhana potongan video.

Kita juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teknologi. Masalahnya bukan pada platform, melainkan pada cara kita menggunakannya. Kita bangga menjadi warga digital, tetapi etika tidak ikut terinstal pada setiap personal. Literasi kita tertinggal jauh dari kecepatan internet.

Kita mengaku anti-hoaks, tetapi bertindak seperti kurirnya. Kita marah pada misinformasi, sambil menambahkan bumbu opini pribadi sebelum membagikannya. Kita menuntut empati, tetapi menikmati tontonan penghukuman massal. Di ruang digital, moral sering kali dipakai sebagai alasan untuk melampiaskan emosi.

Yang paling satir: klarifikasi sering dianggap tanda bersalah. Semakin panjang penjelasan, semakin dicurigai. Logika publik bekerja terbalik—yang singkat dianggap jujur, yang runtut dianggap mengelak. Padahal kebenaran hampir selalu kompleks, dan kebohongan justru sering tampil sederhana.

Fakta lain yang jarang dibicarakan: kamera tidak pernah netral. Ia merekam sudut, bukan keseluruhan. Namun publik seolah sepakat bahwa realitas cukup diwakili oleh apa yang muncul di layar. Kita lupa bahwa hidup tidak bisa dipahami dari satu frame.

Budaya viral ini membentuk generasi yang cepat bereaksi, tetapi lambat merenung. Kita hidup di zaman respons instan, di mana berpikir dianggap memperlambat solidaritas. Padahal solidaritas tanpa akal sehat hanya menghasilkan korban baru.

Jika viral terus dianggap sebagai penentu kebenaran, maka yang kita bangun bukan masyarakat kritis, melainkan kerumunan emosional. Dan sejarah selalu konsisten dalam satu hal: kerumunan jarang adil, dan hampir selalu salah sasaran.

Kita perlu bertanya pada diri sendiri: untuk apa kita membagikan sesuatu? Untuk membantu mencari kebenaran, atau sekadar menyalurkan kemarahan? Karena dampaknya tidak pernah berhenti di layar. Ia menyentuh hidup orang lain—yang mungkin suatu hari adalah kita sendiri.

Kebenaran tidak pernah meminta kita tergesa-gesa. Ia tidak butuh like, tidak butuh share. Ia hanya butuh satu hal yang kini semakin langka: kesabaran berpikir. Berhenti sejenak. Bertanya. Meragukan. Memeriksa.

Di negeri yang percaya viral lebih cepat dari fakta, kebenaran bukan hanya sering terlambat. Ia kerap datang sebagai korban terakhir—setelah semuanya hancur, dan tidak ada lagi yang benar-benar peduli.