Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia merespons mengenai julukan ‘Mister Menteri Etanol’ yang kerap disematkan padanya. Julukan ini muncul seiring dengan wacana penerapan etanol 10 persen (E10) pada bahan bakar minyak (BBM).
“Saya kemana-mana dibilang Mister Menteri Etanol. Epen kah? (bahasa Papua: memangnya penting?)” ujar Bahlil dalam acara Bisnis Indonesia Group Conference 2025 di Raffles Hotel, Jakarta Selatan, Senin (8/12).
Bahlil menjelaskan bahwa julukan tersebut muncul karena dua alasan utama. Pertama, rendahnya tingkat edukasi kepada masyarakat terkait E10. Kedua, ia menyebut adanya polemik yang dimanfaatkan oleh importir dengan kepentingan tertentu.
“Pertama, penjelasan yang mungkin belum sampai secara utuh kepada masyarakat. Yang kedua, ya itu importir. Tulis saja besar-besar, enggak apa-apa,” lanjut Bahlil.
Ia juga menyinggung ketidakpuasan beberapa pihak, khususnya para importir, yang merasa terganggu dengan kebijakan pemerintah yang mengurangi ketergantungan terhadap impor. “Ya, mereka merasa nyaman dengan keadaan sekarang. ‘Apa maunya Bahlil ini? Solar sudah enggak boleh impor, avtur nggak boleh impor, sekarang etanol pun mau dikurangi impornya,'” kata Bahlil, menirukan keluhan para importir.
Meski demikian, Bahlil menegaskan bahwa dirinya tidak terpengaruh dengan serangan-serangan di media sosial terkait wacana etanol. “Awal-awal mereka hajar saya di sosial media tentang etanol. Sungguh mati, kacau betul,” ungkapnya.
Bahlil kemudian menjelaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto mendukung kebijakan penerapan E10 sebagai upaya untuk mengurangi pengeluaran negara, terutama yang berkaitan dengan impor energi. “Ini yang dimaksudkan oleh Pak Presiden Prabowo. Jangan bocor terus uang kita keluar. Kita punya banyak sumber daya dalam negeri yang bisa dimanfaatkan,” jelasnya.
Bahlil menambahkan bahwa penerapan mandatori etanol sudah terbukti berhasil di berbagai negara. Brasil, misalnya, telah menerapkan E30, sementara Amerika Serikat menerapkan E20. Di Asia, beberapa negara seperti India, Thailand, dan China juga telah menerapkan E10 atau E20.
“Etanol ini bahan bakunya dari singkong, tebu, dan jagung. Ini adalah bahan nabati yang bisa menjadi substitusi impor untuk bensin,” jelasnya.
Untuk diketahui, pemerintah Indonesia berencana menerapkan kewajiban penggunaan E10 untuk seluruh produk BBM dalam negeri. E10 adalah campuran bensin dengan etanol 10 persen. Namun, untuk jenis bahan bakar solar, ada program terpisah, yaitu penggunaan Bioetanol (B50) pada tahun depan.
Bahlil mengungkapkan bahwa kebijakan mandatori E10 ini telah dibahas dan disetujui oleh Presiden Prabowo Subianto. “Ke depan kita akan dorong E10. Kemarin malam kami rapat dengan Pak Presiden, dan beliau sudah menyetujui rencana mandatory 10 persen etanol,” ujar Bahlil dalam acara Indonesia Langgas Berenergi yang digagas oleh Detik dan CNN Indonesia, di Anjungan Sarinah, Jakarta Pusat, pada Selasa (7/10).
Bahlil menegaskan bahwa penerapan E10 bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor minyak dengan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah, seperti tanaman tebu.

