Berdasarkan hasil konsolidasi aliansi masyarakat Sumatera Utara yang dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini terus menerus menyerukan untuk TUTUP TPL akhir mencapai titik kesepakatan untuk melangsungkan aksi damai pada 10 November 2025 yang berlokasi di Kantor Gubernur Sumatera Utara.

Dari berbagai sumber media yang melayangkan informasi terbaru di media sosial, diperkirakan akan terjadi aksi damai besar-besaran karena berasal dari berbagai lapisan seperti: lapisan masyarakat yang terdampak dengan PT TPL, organisasi masyarakat, pemuda/i gereja, pimpinan gereja, masyarakat gereja, lapisan mahasiswa se-Sumatera Utara, dan lembaga swadaya masyarakat yang seluruhnya tersebar di berbagai Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara. Lantas, publik perlu memahami mengapa harus TUTUP TPL atau JAYA TPL agar supaya tidak terjadi persepsi simpang siur dan informasi liar di masyarakat luas.

Seruan TUTUP TPL dan JAYA TPL

Seruan ini berangkat dari keresahan yang dialami oleh masyarakat terdampak secara langsung dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Berdasarkan kajian dan informasi mendalam, kehadiran PT TPL di tanah batak semata-mata tidak hanya memberikan dampak positif bagi masyarakat melainkan sudah lari dari garis koordinasi yang seharusnya. Begitu banyak ditemukan kekerasan, kriminalisasi, pengklaiman tanah ulayat, tumpang tindih antara PT dengan tanah masyarakat, pencemaran udara, air, tanah, dan masih banyak lagi.

Berikut beberapa masalah yang ditimbulkan oleh PT TPL:
A. Kriminalisasi
Kriminalisasi yang terjadi berupa kekerasan fisik dan non fisik yang dialami oleh masyarakat yang berkonflik dengan PT TPL. Sebagai bukti nyata berawal dari kasus penculikan kepada salah seorang komunitas Oppu Umbak Siallagan yakni bermula dari penculikan Sorbatua Siallagan serta beberapa anggota komunitas lainnya yang duga dilakukan oleh pihak PT TPL karena awalnya sempat berkonflik dengan masyarakat Simalungun. Hingga pada akhirnya Sorbatua Siallagan harus di perhadapkan dengan hukum mulai dari menjalani proses pengadilan di Peradilan Negeri Simalungun hingga masuk ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara yang pada akhirnya setelah melewati rangkaian pengadilan yang begitu panjang, Sorbatua Siallagan dinyatakan bebas di tingkat banding.

Konflik kedua datang dari di Desa Natinggir, Kabupaten Toba, Sumatera Utara pada 12/08/2025 yang dimana pihak PT TPL secara paksa telah melakukan penanaman paksa bibit pohon eucaliptus dilahan masyarakat yang sudah lama ditanami dengan tumbuhan persawahan masyarakat adat selama bertahun-tahun lamanya.

Selanjutnya, terjadi kembali penghadangan oleh palang milik PT TPL, dimana masyarakat yang hendak bekerja ke ladangnya mesti terhambat oleh palang yang dibuat oleh pihak TPL. Peristiwa ini terjadi di Nagasaribu, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborong-Borong, Kabupaten Tapanuli Utara. Paling mirisnya pimpinan tertinggi HKBP Oppui Ephorus Victor Tinambunan ketika hendak melakukan pelayanan di salah satu gereja yang ada di Nagasaribu harus terhalang oleh penutupan jalan menggunakan palang milik TPL.

Kasus keempat datang data kriminalisasi yang dialami oleh masyarakat Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Kasus ini merupakan daerah kuasa PT TPL yang sudah bertahun-tahun lamanya, namun pada akhirnya konflik pertumpahan darah harus terjadi antara masyarakat adat sihaporas dengan pihak PT TPL.

Kasus ini terjadi pada 22/09/2025 yang mengakibatkan banyak masyarakat adat menjadi korban pemukulan, pengrusakan kendaraan, pengrusakan rumah warga, dan ada yang sampai dilarikan kerumah sakit akibat insiden kekerasan yang terjadi. Ditengah insiden ini terhitung sebanyak 33 warga mengalami luka-luka, 10 diantaranya luka serius termasuk 5 perempuan luka parah dan total sebanyak 18 perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam peristiwa tersebut.

Dari keempat insiden diatas dapat kita lihat bahwa konflik yang terjadi di 3 kabupaten yang berbeda yakni Kabupaten Simalungun, Kabupaten Toba, dan Kabupaten Tapanuli Utara. Dan konflik yang terjadi di sihaporas menjadi konflik berdarah terbesar yang menimbulkan perhatian serius dari masyarakat banyak, mulai dari pemerintah hingga kepada barisan masyarakat.

B. Lahan produksi PT TPL berkisar 160.000-an Hektare
Diperkirakan sampai tahun 2025, luas lahan produksi pohon eucaliptus sebagai pemasok bubur kertas di negeri ini mencapai 160.000-an hektare yang berada di 7 Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Namun, dengan luas lahan ratusan ribu hektare masih terdapat tumpang tindah antara lahan TPL dengan tanah milik masyarakat adat. Sehingga selalu menimbulkan kegelisahan bagi masyarakat yang setiap hari harus berhadapan dengan pihak PT TPL.

Di satu sisi, lahan dengan luas ratusan ribu hektare tentunya telah menyumbangkan kerusakan lingkungan yang sangat besar di tanah batak. Mulai dari penggunaan pestisida atau racun yang mematikan membuat unsur hara tanah akan hilang karena durasi produksi pohon eucaliptus yang berpuluh tahun lamanya. Selanjutnya, dapat diperhatikan juga dari segi kekeringan, tanah longsor, dan kekeringan yang sebelumnya belum pernah terjadi di tanah batak.

Namun pada saat ini segalanya telah terjadi, banjir ada dimana-mana, kekeringan menimpa hampir semua Kabupaten di Kawasan Danau Toba, krisis ekologi akibat perluasan lahan konsesi, dan masih banyak lagi dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh kehadiran TPL yang telah menguasai tanah batak berkisar 30 tahun lamanya.

C. Masa Depan Pekerja Jika TPL Tutup Dalam beberapa bulan terakhir ini, seruan untuk penutupan PT TPL semakin hari semakin mencuat. Hal tersebut didasari atas panggilan nurani dari masyarakat tanah batak dalam menjaga kelestarian bumi pertiwi yang telah dirusak oleh TPL. Seruan ini semakin kuat dengan kehadiran dari pimpinan gereja dan lapisan organisasi masyarakat dan mahasiswa. Secara spontan Pimpinan tertinggi HKBP Oppui ephorus Dr. Victor Tinambunan, M.ST menyerukan untuk TUTUPTPL dan masih konsisten hingga saat ini. Selaku putera daerah dari tanah batak beliau sangat mencintai kelestarian alam dan selalu menyerukan untuk menciptakan ekologis yang semakin baik.

Namun, banyak orang juga bertanya-tanya tentang bagaimana masa depan dari pekerja tpl yang berkisar 16.000 karyawan jika TPL tutup? Lantas dengan luas lahan 160.000-an hektare, pihak perusahaan harus memberikan penghidupan yang layak bagi karyawan yang bekerja di TPL.

Karena sejatinya tidak hanya karyawan yang 16.000 orang yang dirugikan, melainkan masyarakat tanah batak yang berjumlah 3 juta-an orang juga dirugikan ditambah lagi dengan jumlah penduduk indonesia berkisar 280 juta orang hingga pada populasi masyarakat dunia sebanyak 7 miliar orang yang menjadi korban dari aktivitas PT TPL yang sudah berproduksi berpuluh-puluh tahun lamanya.

D. Bantuan TPL Kepada Masyarakat
Tidak dapat dipungkiri jika selama berdirinya TPL di tanah batak tentu memberikan beberapa manfaat bagi beberapa masyarakat yang berdekatan dengan kawasan TPL. Misalnya bantuan dalam pendidikan, akses kepada masyarakat, maupun bantuan ketika ada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di kawasan danau toba.

Namun, perlu di garis bawahi bahwa dampak positif yang diberikan selama ini tidak dapat membayar kerugian dan kerusakan yang terjadi di tanah batak. Perlu juga diperhatikan akan masa depan dari anak cucu masyarakat tanah batak kedepan untuk tinggal dan makan dimana nantinya.

Kedua sudut pandang antara TUTUP TPL dan JAYA TPL sampai saat ini belum menemui titik akhir yang menjadi solusi dan pada akhirnya harus menyuarakan suara dan keresahan masyarakat naha batak sehingga terjadi kesepakatan untuk melaksanakan aksi damai pada 10 November 2025 di Kantor Gubernur Sumatera Utara yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat tanah batak yang mengalami konflik dengan PT TPL

Penulis: Rizal Bahri Lumban Gaol