Namaku tidak penting. Aku hanyalah seorang mahasiswa semester 4 di salah satu kampus negeri di Jambi. Tapi yang ingin aku ceritakan ini penting—karena ini tentang HMI. Tentang rumah perjuangan yang dulu aku kira akan menjadi tempatku tumbuh, tapi belakangan justru membuatku banyak merenung: apakah aku berada di tempat yang tepat?
Aku bergabung ke HMI dengan niat tulus. Sejak awal aku tahu HMI bukan sekadar organisasi, melainkan wadah kaderisasi umat dan bangsa. Sebuah rumah tempat kita membentuk insan akademis yang bertanggung jawab, mencipta dan mengabdi. Tapi perjalanan ini, setelah dua tahun kurang lebih aku kebingungan akan diriku dan organisasi ini bergumul di dalamnya, membuatku sadar: ada yang salah, dan kita harus berani mengakuinya.
Di cabang Jambi tempatku bergiat, arah gerak organisasi terasa kabur. Tak ada peta jalan yang jelas. Musyawarah seringkali hanya jadi formalitas. Kegiatan kaderisasi minim muatan intelektual. Bahkan diskusi yang dulunya jadi kekuatan HMI, kini kalah oleh agenda-agenda teknis yang membosankan. Cabang sibuk dengan dinamika internal, lupa bahwa di luar sana umat butuh suara kita, bangsa menanti gagasan kita.
Tapi yang lebih menggelisahkan bagiku adalah kondisi komisariat. Komisariat yang seharusnya menjadi “rahim” kaderisasi justru kehilangan ruhnya. Forum LK hanya sekadar dilaksanakan, tak lagi menggugah atau mendidik secara mendalam. Ada yang bahkan memperalat forum ini untuk kepentingan kelompok, bukan untuk melahirkan kader tangguh. Bukankah ini bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita HMI?
Aku jadi teringat pernyataan M. Riza Patria, mantan Ketua Umum PB HMI yang kini jadi tokoh nasional. Ia pernah mengatakan: “Kemunduran HMI bukan disebabkan oleh musuh di luar, tapi karena kita kehilangan arah di dalam. HMI terlalu sibuk dengan urusan jabatan, lupa mengasah pemikiran dan nurani.”
Kalimat itu menamparku. Karena aku merasakannya sendiri. Di komisariat, ada kader yang baru masuk tapi sudah disiapkan untuk “naik tingkat”, bukan karena kapasitas, tapi karena loyalitas. Ada pula pengurus yang lebih sibuk membentuk barisan politik, ketimbang memikirkan kualitas kaderisasi. Sungguh menyakitkan, tapi inilah realita.
Aku menulis ini bukan untuk menjatuhkan siapa pun. Justru karena aku mencintai HMI, aku tak ingin diam. Aku tahu HMI besar. Aku tahu sejarah panjangnya. Tapi aku juga tahu: sejarah tak akan menyelamatkan kita jika hari ini kita mandek.Sejarah hanya akan jadi nostalgia, jika kita tak bergerak menulis bab baru yang layak dibaca anak-anak kita kelak.
Sebagai mahasiswa semester 4, aku belum banyak tahu soal strategi besar. Tapi aku tahu satu hal: *HMI tak boleh terus seperti ini.* Kita butuh evaluasi total, bukan basa-basi. Kita butuh pengurus yang punya hati, bukan hanya akal licik. Kita butuh forum yang membangun, bukan yang saling menjatuhkan. Kalau komisariat rusak, cabang tak jelas, lalu dari mana lahir kader masa depan?
Aku yakin, masih banyak kader yang berpikir seperti aku. Mungkin mereka diam, atau belum punya ruang bicara. Tapi diam bukan pilihan abadi. Akan tiba waktunya, gelisah kami menjadi gerakan. Dan semoga, HMI—rumah perjuangan ini—tak terlambat untuk bangun.
Karena jika HMI gagal memperbaiki diri, maka kita harus bersiap menyaksikan rumah ini ditinggalkan oleh generasi yang lebih memilih idealismenya hidup di tempat lain. (*)