Aku jadi teringat pernyataan M. Riza Patria, mantan Ketua Umum PB HMI yang kini jadi tokoh nasional. Ia pernah mengatakan: “Kemunduran HMI bukan disebabkan oleh musuh di luar, tapi karena kita kehilangan arah di dalam. HMI terlalu sibuk dengan urusan jabatan, lupa mengasah pemikiran dan nurani.”
Kalimat itu menamparku. Karena aku merasakannya sendiri. Di komisariat, ada kader yang baru masuk tapi sudah disiapkan untuk “naik tingkat”, bukan karena kapasitas, tapi karena loyalitas. Ada pula pengurus yang lebih sibuk membentuk barisan politik, ketimbang memikirkan kualitas kaderisasi. Sungguh menyakitkan, tapi inilah realita.
Aku menulis ini bukan untuk menjatuhkan siapa pun. Justru karena aku mencintai HMI, aku tak ingin diam. Aku tahu HMI besar. Aku tahu sejarah panjangnya. Tapi aku juga tahu: sejarah tak akan menyelamatkan kita jika hari ini kita mandek.Sejarah hanya akan jadi nostalgia, jika kita tak bergerak menulis bab baru yang layak dibaca anak-anak kita kelak.
Sebagai mahasiswa semester 4, aku belum banyak tahu soal strategi besar. Tapi aku tahu satu hal: *HMI tak boleh terus seperti ini.* Kita butuh evaluasi total, bukan basa-basi. Kita butuh pengurus yang punya hati, bukan hanya akal licik. Kita butuh forum yang membangun, bukan yang saling menjatuhkan. Kalau komisariat rusak, cabang tak jelas, lalu dari mana lahir kader masa depan?
Aku yakin, masih banyak kader yang berpikir seperti aku. Mungkin mereka diam, atau belum punya ruang bicara. Tapi diam bukan pilihan abadi. Akan tiba waktunya, gelisah kami menjadi gerakan. Dan semoga, HMI—rumah perjuangan ini—tak terlambat untuk bangun.