Namaku tidak penting. Aku hanyalah seorang mahasiswa semester 4 di salah satu kampus negeri di Jambi. Tapi yang ingin aku ceritakan ini penting—karena ini tentang HMI. Tentang rumah perjuangan yang dulu aku kira akan menjadi tempatku tumbuh, tapi belakangan justru membuatku banyak merenung: apakah aku berada di tempat yang tepat?

Aku bergabung ke HMI dengan niat tulus. Sejak awal aku tahu HMI bukan sekadar organisasi, melainkan wadah kaderisasi umat dan bangsa. Sebuah rumah tempat kita membentuk insan akademis yang bertanggung jawab, mencipta dan mengabdi. Tapi perjalanan ini, setelah dua tahun kurang lebih aku kebingungan akan diriku dan organisasi ini bergumul di dalamnya, membuatku sadar: ada yang salah, dan kita harus berani mengakuinya.

Di cabang Jambi tempatku bergiat, arah gerak organisasi terasa kabur. Tak ada peta jalan yang jelas. Musyawarah seringkali hanya jadi formalitas. Kegiatan kaderisasi minim muatan intelektual. Bahkan diskusi yang dulunya jadi kekuatan HMI, kini kalah oleh agenda-agenda teknis yang membosankan. Cabang sibuk dengan dinamika internal, lupa bahwa di luar sana umat butuh suara kita, bangsa menanti gagasan kita.

Tapi yang lebih menggelisahkan bagiku adalah kondisi komisariat. Komisariat yang seharusnya menjadi “rahim” kaderisasi justru kehilangan ruhnya. Forum LK hanya sekadar dilaksanakan, tak lagi menggugah atau mendidik secara mendalam. Ada yang bahkan memperalat forum ini untuk kepentingan kelompok, bukan untuk melahirkan kader tangguh. Bukankah ini bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita HMI?