Diduga Tanpa Dokumen Lengkap, PT Danang Abadi Sejahtera Produksi Material Untuk Proyek Tol Bayung Lencir – Tempino

Jambi – PT Danang Abadi Sejahtera diduga melakukan penambangan ilegal di Kabupaten Muaro Jambi untuk menyuplai material proyek strategis nasional Jalan Tol Bayung Lincir–Tempino. Perusahaan yang awalnya bergerak di bidang properti ini diketahui melakukan operasi produksi meski secara hukum baru berada di tahap eksplorasi.

Informasi dihimpun dari fikiranrajat.id, PT Danang Abadi Sejahtera menguasai empat lokasi tambang mineral bukan logam di wilayah Desa Sungai Landai, Pondok Meja, dan Jambi Luar Kota, dengan total luasan sekitar 56,26 hektare. Aktivitas penambangan dilakukan tanpa dokumen rencana teknis penambangan dan tanpa dokumen lingkungan hidup yang diwajibkan oleh peraturan.

Surat resmi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jambi telah menegaskan larangan melakukan penambangan sebelum dokumen tersebut disetujui. Namun, perusahaan tetap melanjutkan kegiatan produksi dan menjual ribuan kubik material kepada perusahaan BUMN.

Direktur PT Danang Abadi Sejahtera, Sumanto, saat dikonfirmasi, mengklaim telah mengantongi Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB). Ia bahkan menyebutkan bahwa menurut pihak kepolisian, kepemilikan SIPB saja sudah dianggap cukup.

“Dari polda bng sibb cukup karena galian c kecil proyek strategis nasional untk rakyat,” sebut sumanto melalui via whatsApp.

Namun hasil verifikasi menunjukkan SIPB tersebut belum memenuhi syarat hukum karena tidak dilengkapi dokumen rencana teknis penambangan maupun dokumen lingkungan hidup sebagaimana diwajibkan.

Aktivis lingkungan sosial Jambi, Ricky, mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia segera mengambil tindakan hukum atas dugaan pelanggaran ini.

“Demi kepentingan umum dan peningkatan akses keadilan bagi masyarakat, kami meminta Kejaksaan Agung untuk menegakkan hukum agar keadilan benar-benar dirasakan seluruh lapisan rakyat,” tegas Ricky.

Berdasarkan Undang-Undang Minerba, kegiatan penambangan tanpa izin dan operasi produksi pada tahap eksplorasi masing-masing diancam pidana penjara lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar.

Kasus ini menambah daftar panjang lemahnya pengawasan tambang di daerah, bahkan di tengah pelaksanaan proyek berlabel strategis nasional. (*)