Muaro Jambi – Polemik pelaksanaan sistem Pemira di Unja masih menjadi topik hangat di kalangan mahasiswa selama hampir dua pekan, pasalnya, pelaksanaan yang selama dua dekade dilakoni melalui sistem demokrasi (one man one vote), kini justru mendapat ancaman serius dengan adanya wacana pelaksanaan secara kongres.
Wacana tak lazim yang baru perdana muncul ini, diduga merupakan hasil skandal politik birokrasi yang melibatkan beberapa petinggi.
Menurut salah satu mahasiswa yang menjadi bagian dari gerakan “Save Demokrasi Unja”, skandal politik yang sedang dilakoni petinggi kampus saat ini menjadi catatan kelam yang menodai sejarah demokrasi di Universitas Jambi (Unja).
Ia juga menyebutkan, wacana kongres yang tengah dipaksa merupakan bentuk pembodohan terhadap daya nalar dan kritis mahasiswa.
“Kami sebagai mahasiswa yang waras tentu menolak pelaksanaan Pemira dengan sistem kongres, yang terang-terangan mencerminkan sistem oligarki,” sebut Harsa.
Harsa meyakini, pelaksanaan kongres pada Pemira hanya sekedar rekayasa politik yang lahir dari skandal busuk birokrasi.
Terlebih, sudah tersiar kabar jika tiga dari dua dosen yang menjadi otak pelaksanaan kongres sudah bersepakat untuk berbagi kekuasaan.
“Rekayasa kongres yang terstruktur dan sistematis ini harus segera dihentikan, karena berpotensi untuk melahirkan generasi penerus yang bermental culas,” tegas mahasiswa fakultas ekonomi dan bisnis ini.
Lebih lanjut, buntut dari masih berjalannya wacana kongres pada pelaksanaan Pemira Unja tahun 2025 ini, mahasiswa secara terang-terangan memberikan gelar King of Oligark pada dua dosen yang dianggap sebagai dalang.
“Gelar tersebut diunggah oleh akun @justicia.unja dan hingga saat ini sudah ditonton lebih dari 11 ribu kali dan terus bertambah setiap harinya. Hal ini tentunya menjadikan isu PEMIRA di universitas Jambi makin disorot tidak hanya didalam kampus akan tetapi juga di kancah nasional” tutup Harsa.