Sebagai sesama mahasiswa, walaupun dari kampus berbeda, tentunya kita bisa terinspirasi untuk berbuat lebih dan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi kampus, daerah, dan negara. Tidak lagi hanya terjebak dengan politik kotor dan kepentingan kelompok/golongan semata. Namun, apabila kita masih terkekang pada perdebatan pemilihan langsung atau perwakilan, rasanya tidak akan sampai pada solusi konkret yang membangun pendidikan politik mahasiswa. Kampusnya sudah unggul, namun demokrasinya telah menjadi tunggul. Belum terbayang rasanya jika Ketua BEM terpilih nantinya harus konsolidasi di forum nasional dan bercerita bahwa dirinya terlahir dari rahim sistem PEMIRA kongres.

“Perlakuan paling konyol yang sering diterima sejarah adalah manusia tak pernah mau belajar darinya,” (G.W.F. Hegel).

Resolusi Penyelamatan Demokrasi

Ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan dari demokrasi: kebebasan berpendapat, keterbukaan informasi, dan jaminan hak pilih. Jika berkurang atau lemah satu dari tiga hal tersebut, maka demokrasi masuk ke dalam fase menuju keruntuhan. Demokrasi juga harus didukung oleh SDM yang berkualitas. Berbicara tentang SDM, pembangunan karakter dan moral berkaitan erat dengan kultur pendidikan yang ada. Di belahan dunia mana pun, puncak dari pertaruhan sukses atau tidaknya pembangunan SDM ditentukan dari bagaimana proses yang dilalui di kampus. Sehingga dalam hal ini, universitas punya peran sentral dalam menghadirkan SDM yang berintegritas agar keberlangsungan hidup demokrasi, khususnya di kampus dan umumnya di Indonesia, bisa lebih panjang.