Memang jika membahas sistem pilkada yang dikembalikan kepada DPRD alias diwakilkan, akan ada pro dan kontra. Namun, jika kita mengkorelasikan dengan kondisi demokrasi di kampus yang notabene adalah miniatur negara, maka tidak ditemukan urgensi dan alasan mendasar mengapa sistem PEMIRA diganti ke sistem kongres. Selain ada kepentingan kelompok tertentu yang diuntungkan, perubahan ini juga terlihat sebagai upaya menyederhanakan pesta demokrasi oleh pihak birokrasi.

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD” Pasal 1(2) UUD 1945

Tren Positif Kebangkitan Mahasiswa

Dalam satu dekade terakhir, harus diakui bahwa kekuatan dan pergerakan mahasiswa menemui banyak tantangan. Bahkan sekadar untuk menyampaikan aspirasi dan mengawal kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat pun kerap mendapat intervensi dan tindakan represif. Mahasiswa yang berusaha menjadi agent of change, iron stock, dan social control sering kali suaranya dianggap sepele oleh pemerintah pusat, daerah, maupun lingkup kampus. Namun, pasca pandemi COVID-19 berlalu dan di tengah derasnya arus MBKM, mahasiswa mampu kembali menemukan momentum kebangkitannya.

Ketika rezim berganti pada Agustus 2024 lalu, mahasiswa berhasil mengawal putusan MK dan menolak pembahasan ulang revisi UU Pilkada. Masih harum rasanya ketika empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berhasil meyakinkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus ketentuan ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Hal ini menjadi bukti bahwa mahasiswa memiliki energi dan kekuatan lebih yang bisa diarahkan untuk hal-hal besar, terutama untuk menjawab masalah di negeri ini.