Pemilihan Umum VS Perwakilan/Kongres
Tidak hanya di kampus, isu perubahan sistem pemilihan juga dapat kita lihat dengan terang-benderang di sekitar kita dalam skala lebih luas, yaitu negara Republik Indonesia. Pernyataan Presiden Prabowo yang mendukung ide pilkada kembali dipilih oleh DPRD saat sambutan di acara puncak HUT Ke-60 Partai Golkar, 12 Desember 2024 lalu, sempat menjadi diskusi panas di publik. Pernyataan tersebut menuai pro-kontra dengan alasan efisiensi anggaran pilkada. Namun, jika ditilik berdasarkan catatan sejarah, aturan kepala daerah secara langsung dipilih oleh rakyat memang sebenarnya masih terbilang baru. Sejak Indonesia merdeka hingga berakhirnya Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto, pilkada selalu diwakilkan oleh DPR. Kebijakan itu runtuh setelah Reformasi dan terbitnya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Aturan pemilihan langsung pun berlaku sampai sekarang. Selain itu, dalam sistem presidensial juga tidak ada lembaga legislatif memilih lembaga eksekutif.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, mengatakan bahwa RUU Pilkada masuk ke dalam Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029 DPR RI. Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai pilkada melalui DPRD berpotensi menimbulkan tindak kesewenang-wenangan elite partai karena tidak melibatkan aspirasi masyarakat. Menurutnya, pelaksanaan pemilihan gubernur secara langsung maupun melalui DPR tetap berpotensi terjadinya politik uang. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada pemberian uang atau material yang diberikan kepada anggota DPRD. Mestinya yang dibenahi adalah pengaturan dan penegakan hukumnya, bukan dengan serta merta mengubah sistem. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona, juga mengkritik tajam wacana ini. Ia menyebutnya sebagai tanda nyata kemunduran demokrasi di Indonesia. Bahkan Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menilai wacana agar pilkada dikembalikan melalui DPRD merupakan logika yang sesat.