Akibatnya, hak pemulihan bagi para korban tidak terpenuhi, karena Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2000 mengharuskan mekanisme pemulihan seperti restitusi atau kompensasi bergantung pada keputusan pengadilan, setelah membebaskan semua terdakwa, negara membiarkan nasib korban Tanjung Priok tergantung tanpa mendapatkan keadilan, pengungkapan kebenaran, atau pemulihan baik materiil maupun immateril.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga telah melakukan penyelidikan pro justitia terhadap peristiwa pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di bulan September, seperti Peristiwa Semanggi II 1999 (termasuk dalam berkas Trisakti, Semanggi I 1998 dan II 1999) serta Peristiwa 1965-1966. Hasil penyelidikan ini seharusnya ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung dengan melaksanakan penyidikan dan penuntutan sesuai dengan Pasal 21 dan 23 UU No. 26 Tahun 2000.

Namun, sejak tahun 2002, Jaksa Agung menolak untuk melanjutkan hasil penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan dan penuntutan di Pengadilan HAM dengan alasan-alasan yang tidak konsisten, seperti ketidaklengkapan syarat formil dan materil, serta alasan politis seperti belum adanya rekomendasi DPR dan keputusan Presiden mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000, demikian pula dengan peristiwa kekerasan lainnya seperti Pembunuhan Munir Said Thalib, Pembunuhan Salim Kancil, kekerasan terhadap massa aksi Reformasi Dikorupsi, pembunuhan Pendeta Yeremia, dan kekerasan terhadap warga di Pulau Rempang yang juga belum menemukan titik terang hingga pada akhirnya para penjahat HAM masih terus berkeliaran sementara luka para korban dan keluarganya terus dibiarkan menganga.