Jakarta – Tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP), Paulus Tannos, alias Tjhin Thian Po, melalui kuasa hukumnya membeberkan sejumlah kejanggalan terkait penangkapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini disampaikan dalam sidang perdana praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, pada Senin (24/11).
Kuasa hukum Tannos, Damian Agata Yuvens, menyebut bahwa objek praperadilan adalah Surat Perintah Penangkapan (Sprin.Kap/08/DIK.01.02/01/11/2024) yang dikeluarkan pada 26 November 2024, namun tidak ditandatangani oleh penyidik. Menurut Damian, surat tersebut hanya ditandatangani oleh Nurul Ghufron, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.
“Surat perintah penangkapan ini tidak sah karena tidak ditandatangani oleh penyidik. Yang menandatangani justru Wakil Ketua KPK, yang menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tidak lagi memiliki kewenangan sebagai penyidik atau penuntut umum,” ujar Damian dalam sidang tersebut.
Selain itu, Damian juga menyoroti kelengkapan identitas dalam surat tersebut, di mana kebangsaan Tannos disebutkan hanya sebagai warga negara Indonesia. Padahal, sejak 2019, Tannos juga telah menjadi warga negara Guinea-Bissau, dan hal ini telah diberitahukan oleh pemerintah Guinea-Bissau kepada Indonesia pada 5 September 2019.
“Kebangsaan yang ditulis di dalam surat tersebut tidak lengkap dan keliru, karena Tannos juga merupakan warga negara Guinea-Bissau, hal ini sudah dikomunikasikan sejak 2019,” tambah Damian.
Damian juga mencatat ketidaksesuaian dalam objek praperadilan, di mana tempat pemeriksaan tidak disebutkan, padahal hal ini penting untuk penghitungan waktu penangkapan. Tanpa menyebutkan tempat pemeriksaan, kata Damian, menjadi tidak mungkin untuk menghitung waktu mulai dan berakhirnya penangkapan.
Lebih lanjut, dia juga menilai bahwa jenis tindak pidana yang disebutkan dalam objek praperadilan tidak sinkron dengan uraian perbuatan yang disangkakan oleh KPK kepada Tannos. Hal ini, menurutnya, melanggar ketentuan dalam Pasal 18 ayat 1 KUHAP.
“Berdasarkan semua hal ini, kami memohon agar hakim praperadilan menerima dan mengabulkan permohonan kami untuk seluruhnya,” ujar Damian.
Sementara itu, Biro Hukum KPK dalam sidang tersebut menyatakan bahwa Paulus Tannos berstatus buron dan Daftar Pencarian Orang (DPO). Karena itu, menurut KPK, Tannos tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan praperadilan.
“Pemohon ini masih berstatus DPO dan juga red notice, sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 yang melarang pengajuan praperadilan bagi tersangka yang melarikan diri atau dalam status pencarian orang,” terang Biro Hukum KPK.
Hakim tunggal Halida Rahardhini kemudian meminta agar pernyataan KPK tersebut dimasukkan dalam jawaban mereka dan meminta agar hukum acara persidangan praperadilan dilaksanakan sesuai ketentuan.
Kasus Paulus Tannos adalah bagian dari proses ekstradisi pertama antara Indonesia dan Singapura, setelah kedua negara menandatangani perjanjian ekstradisi pada 2022 yang kemudian diratifikasi pada 2023. Tannos, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Sandipala Artha Putra, telah masuk dalam daftar DPO sejak 19 Oktober 2021 dan berhasil ditangkap oleh lembaga antikorupsi Singapura pada Januari 2025.

