Jakarta — Kelompok relawan Projo belakangan ramai diperbincangkan lantaran dianggap mulai melunturkan aspek ketokohan Presiden ke-7 RI Joko Widodo dalam tubuh organisasinya.
Projo menegaskan bahwa nama organisasi tersebut bukan merupakan akronim dari “Pro Jokowi” seperti yang selama ini dikenal, melainkan berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti negeri, serta dalam bahasa Jawa Kawi bermakna rakyat.
Selain itu, Projo juga berencana mengubah logo organisasi agar tidak terkesan mengultuskan individu. Saat ini, logo Projo masih menampilkan siluet wajah Jokowi. Langkah itu pun memunculkan beragam spekulasi publik.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi membantah bahwa hubungan antara Projo dan Jokowi terputus. Ia menegaskan, kehadiran Projo tidak dapat dipisahkan dari kiprah Jokowi di panggung politik nasional.
“Saya ingin menjelaskan kepada teman-teman media sekalian, karena dari perkembangan berita ini seolah-olah terkesan Projo putus hubungan dengan Pak Jokowi. Jangan diframing,” kata Budi Arie dalam Kongres ke-3 Projo di Jakarta, Minggu (2/11).
Sementara itu, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif SCL Taktika, Iqbal Themi, menilai langkah Projo merupakan manuver politik untuk tetap berada dalam orbit kekuasaan di bawah Presiden Prabowo Subianto.
“Projo membaca arah angin. Ini cara memastikan mereka tidak menjadi ‘anak tiri’ kekuasaan ketika pusat kendali politik bergeser,” ujar Iqbal dalam keterangannya, Selasa (4/11).
Menurut Iqbal, langkah tersebut merupakan strategi realistis bagi Projo untuk bertahan di kancah politik nasional setelah Jokowi tak lagi menjabat sebagai presiden. Ia menyebut reposisi ini sebagai upaya agar organisasi itu tidak tersingkir dari poros kekuasaan saat ini.
“Kalkulasi politik yang realistis ketimbang terjebak romantisme figur lama,” ucapnya.
Meski demikian, Iqbal menilai manuver tersebut tidak dapat dimaknai sebagai pemutusan hubungan dengan Jokowi. Ia menggambarkan strategi itu seperti “berpoligami dalam politik.”
“Sulit membayangkan Projo benar-benar melepaskan Jokowi. Dengan Gibran berada di pusat kekuasaan, mereka tetap punya jalur genetik ke patron lama, yakni Jokowi. Ini bukan tutup buku dengan Jokowi, tapi membuka bab baru untuk Prabowo,” kata Iqbal.
Ia juga menilai perubahan logo Projo yang akan menghilangkan siluet wajah Jokowi hanyalah aspek visual, sedangkan esensinya adalah penataan ulang posisi dalam pusaran kekuasaan.
“Jadi bukan soal meninggalkan siapa, tapi memastikan tetap aman di dua sisi. Dalam politik, simbol bisa berganti, posisi bisa bergeser, tapi akses tidak boleh hilang,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai Projo lebih tepat disebut sebagai organisasi bermazhab kekuasaan daripada sekadar relawan.
Menurut Pangi, siapapun yang berkuasa akan menjadi poros baru bagi organisasi tersebut. Ia juga menangkap sinyal perpisahan antara Projo dan Jokowi pasca Kongres III, yang ditandai dengan tidak lagi dikultuskannya Jokowi sebagai figur utama.
“Sudah tidak lagi kultuskan Jokowi sebagai sumber kekuasaannya,” ujar Pangi saat dihubungi, Selasa (4/11).
Namun di sisi lain, Pangi juga melihat adanya sinyal bahwa Jokowi masih berupaya menjaga kedekatan dengan Prabowo. Meski begitu, ia meyakini Prabowo akan tetap berpegang pada prinsip hukum.
“Saya yakin Prabowo enggak bakal menegakkan benang basah. Kalau sesuatu sudah urusan hukum, pasti Prabowo bilang, ‘gue lepas tangan’,” katanya.

