Jakarta – Akademisi Rocky Gerung menilai kebijakan pembekuan sementara penggunaan sirine dan rotator oleh Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri merupakan langkah yang tepat.

Menurut Rocky, respons cepat Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho menunjukkan kepekaan terhadap keresahan publik. Ia menilai sirine yang semestinya memiliki makna filosofis dari mitologi Yunani—yakni bujuk rayu dengan suara merdu—kini justru menimbulkan kebisingan di jalan raya.

“Suara merdu bila dipaksakan jadi kebisingan. Pak Agus tepat, sebelum dituntut publik lebih jauh, kepolisian berani mengevaluasi diri. Hasilnya, hentikan penggunaan sirine sembarangan,” ujar Rocky kepada wartawan, Rabu (24/9).

Rocky menekankan bahwa pembekuan sementara ini penting sebagai evaluasi kebijakan. Jika tidak diatur dengan baik, penggunaan sirine justru memicu stres harian para pengguna jalan.

“Mereka yang memanfaatkan fasilitas itu membuat publik terganggu. Setiap hari orang jadi stres di jalan hanya karena tetot-tetot,” katanya.

Ia juga mengajak seluruh pihak menghargai ruang publik dengan cara yang lebih beradab. “Jalan raya bukan arena pamer kekuasaan, melainkan ruang peradaban bagi masyarakat. Sirine mestinya bunyi merdu, bukan menakutkan,” tegasnya.

Sebelumnya, Korlantas Polri resmi membekukan sementara penggunaan sirine dan rotator “Tot Tot Wuk Wuk” sebagai respons atas kritik masyarakat. Agus menegaskan, pihaknya tengah menyusun ulang aturan penggunaan sirine dan rotator untuk mencegah penyalahgunaan.

“Kami menghentikan sementara penggunaan suara-suara itu, sembari dievaluasi secara menyeluruh,” kata Agus, Sabtu (20/9).

Meski demikian, pengawalan kendaraan pejabat tetap berjalan. Agus menekankan bahwa sirine hanya boleh dipakai dalam kondisi yang benar-benar mendesak.

“Kalau pun digunakan, sirine itu untuk hal-hal khusus, tidak sembarangan. Sementara ini sifatnya imbauan agar tidak dipakai bila tidak mendesak,” jelasnya.