Contoh nyata adalah di Sumatera Barat (Sumbar), di mana banjir merupakan buntut dari deforestasi, tambang emas ilegal, dan lemahnya penegakan hukum. Di Aceh dan Sumatera Utara (Sumut), kerusakan hutan adat memperburuk longsor, sementara karhutla yang sering terjadi akibat pembakaran lahan ilegal jarang berujung pada tuntutan pidana maksimal.

Dampak terhadap Hak Keberlanjutan dan HAM

Bencana ini tidak hanya merusak alam, tapi juga melanggar hak keberlanjutan yang diamanatkan dalam konstitusi. Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sementara konsep “green constitution” menekankan bahwa kerusakan ekologis adalah ancaman langsung terhadap HAM. Yayasan TIFA menyatakan bahwa bencana ekologis di Sumatera merupakan bentuk pelanggaran HAM sistematis, di mana korban jiwa, hilangnya tempat tinggal, dan rusaknya ekosistem penopang kehidupan melanggar hak hidup dan hak atas pangan.

Pengabaian hak masyarakat adat menjadi sorotan utama. Ribuan hektare tanah ulayat dialihfungsikan tanpa persetujuan bebas, sebelumnya, dan informasi (FPIC), menyebabkan deforestasi dan perampasan hak yang dilegalkan.
Ini memperburuk kerentanan ekologis, di mana krisis iklim dan kerusakan lahan membentuk “lingkaran setan” yang mengancam keberlanjutan generasi mendatang. Kerugian ekonomi pun mencapai Rp 68,67 triliun, termasuk kerusakan rumah, infrastruktur, dan penurunan pendapatan rumah tangga, menurut hitungan Center for Economic and Law Studies (CELIOS).
Lebih jauh, konsep ekoterorisme dan korupsi lingkungan muncul sebagai ancaman baru terhadap HAM, di mana banjir bandang dan longsor langsung melanggar hak hidup.Negara dinilai gagal melindungi warga karena mengabaikan prinsip HAM dan perlindungan lingkungan, sebagaimana ditegaskan oleh aktivis seperti Usman dari Nahdlatul Ulama.

Menuju Reformasi: Nature-Based Solutions dan Penegakan Hukum yang Tegas

Untuk mengatasi ini, diperlukan pendekatan Nature-Based Solutions (NbS) berbasis hak adat, seperti restorasi hutan dengan keterlibatan masyarakat lokal. Pemerintah harus menerapkan moratorium perizinan di kawasan rawan, audit korporasi secara menyeluruh, dan tingkatkan sanksi pidana berdasarkan UU PPLH. Selain itu, gugatan class action oleh korban bisa menjadi alat untuk menuntut pertanggungjawaban, sambil memperkuat monitoring independen oleh Komnas HAM dan LSM.