Politik uang (money politics) dan budaya kampanye merupakan fenomena yang berulang dalam pemilihan umum di Indonesia. Pendekatan antropologis membuka ruang analisis yang menempatkan politik uang bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi sebagai praktik sosial yang berakar pada logika timbal-balik, struktur ekonomi lokal, modal simbolik, dan cara komunitas memaknai hubungan kekuasaan dan patronase. Dalam konteks kampanye, ritual-ritual, simbol-simbol, dan strategi komunikasi juga membentuk kultur politik yang seringkali berinteraksi dengan praktik politik uang baik sebagai penyertanya maupun sebagai respon terhadapnya.
Antropologi politik menawarkan konsep-konsep penting untuk membaca fenomena politik uang: patronase, kekerabatan politik, reciprocity (timbal balik), dan legitimasi lokal. Konsep “ekonomi moral” (moral economy) juga membantu menjelaskan mengapa praktik transaksi suara dapat dipahami oleh sebagian aktor sebagai tindakan yang dapat dibenarkan berdasarkan norma-norma lokal tentang saling bantu dan balas jasa. Sementara itu, antropologi simbolik menyorot bagaimana pemberian materi dalam kampanye dimaknai melalui simbol, ritual, dan estetika kampanye, misalnya pemberian sembako atau uang yang dikemas dalam acara “silaturahmi” atau “gotong royong” sehingga mendapat legitimasi budaya. Pendekatan etnografis yang panjang memungkinkan pengungkapan narasi actor mengapa pemilih menerima imbalan, bagaimana calon menilai kebutuhan politik lokal, dan bagaimana tokoh perantara (broker) memainkan peran kunci dalam mempertemukan logika pasar politik dan norma sosial setempat.
Praktik politik uang di Indonesia hadir dalam beragam bentuk: pemberian tunai langsung, sembako, “ongkos” untuk menghadiri acara kampanye, pembayaran untuk memobilisasi pemilih, serta bentuk-bentuk filantropi terstruktur yang dibingkai sebagai bantuan sosial calon. Praktik-praktik ini dapat bersifat personal (pemberian langsung kepada pemilih), struktural (pengorganisasian jaringan distribusi imbalan oleh partai atau broker lokal), maupun ritualistik (pemberian dalam acara adat atau keagamaan yang melibatkan kampanye).
Politik Uang sebagai Produk Budaya Politik.
Secara normatif, politik uang secara tegas dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 melarang segala bentuk pemberian uang atau materi yang bertujuan memengaruhi pilihan pemilih. Namun di tataran praksis, politik uang kerap dipahami masyarakat bukan sebagai pelanggaran, melainkan sebagai bagian dari ritual politik yang lazim. Dalam banyak komunitas lokal, politik uang dipersepsi sebagai bentuk “rezeki”, “uang lelah”, “tanda terima kasih”, atau bahkan simbol perhatian kandidat kepada masyarakat.
Dalam perspektif antropologi, persepsi ini dapat dipahami melalui konsep verstehen Max Weber, yakni memahami makna subjektif tindakan manusia. Masyarakat tidak hanya mempertimbangkan norma legal, tetapi juga nilai, pengalaman, relasi sosial, dan solidaritas dalam memaknai suatu tindakan. Ketika masyarakat memandang pemberian uang sebagai bentuk kepedulian atau loyalitas kandidat, maka praktik tersebut memperoleh legitimasi kultural, terlepas dari pelanggaran hukumnya.
Penelitian pada masyarakat pedesaan menunjukkan bahwa politik uang sering dilihat sebagai bagian dari budaya timbal balik (reciprocity). Kandidat dipersepsi memberikan sesuatu kepada masyarakat, dan sebagai gantinya masyarakat “balas budi” melalui dukungan suara. Skema pertukaran hadiah (gift exchange) ala Marcel Mauss menjelaskan mengapa pemberian, sekalipun bermuatan kepentingan politik, tetap memperoleh nilai moral dalam masyarakat. Suara bukan sekadar komoditas, tetapi bagian dari hubungan sosial yang dibangun melalui praktik memberi.
Dimensi Antropologis Politik Uang: Solidaritas, Patronase, dan Identitas
1. Politik Uang dan Solidaritas Mekanik
Durkheim mengemukakan konsep solidaritas mekanik yang umumnya terdapat dalam masyarakat tradisional dan homogen. Dalam struktur sosial seperti ini, keputusan politik sering kali tidak diambil secara individual, tetapi melalui kesatuan sosial seperti keluarga, kelompok kekerabatan, atau komunitas desa. Politik uang kemudian bekerja dalam jaringan solidaritas ini. Satu individu yang menerima uang dari kandidat tertentu dapat memengaruhi seluruh kelompok untuk memilih kandidat yang sama. Inilah yang menjelaskan mengapa politik uang sangat efektif di wilayah pedesaan, sebagaimana ditemukan dalam studi pada masyarakat Maja di Lebak Banten.
2. Politik Uang sebagai Relasi Patron-Klien
Dalam antropologi politik, hubungan patron-klien menggambarkan struktur sosial di mana elite politik (patron) memberikan bantuan material kepada masyarakat (klien) sebagai imbalan terhadap dukungan politik. Masyarakat yang secara ekonomi lemah cenderung menggantungkan harapannya pada patron yang mampu memberikan keuntungan jangka pendek. Politik uang menjadi medium yang memperkuat hubungan patronase tersebut.
Kandidat yang dianggap “dermawan”, “loyal”, atau “peduli” melalui pemberian materi memperoleh legitimasi politis. Dampaknya, pemilih tidak lagi menilai program, visi, atau integritas kandidat, melainkan seberapa besar materi yang diberikan. Dalam jangka panjang, pola ini membentuk budaya politik transaksional yang sulit diubah.
3. Identitas Kolektif dan Keterikatan Simbolik
Dalam masyarakat tertentu, politik uang juga terkait dengan simbol identitas, seperti kedekatan darah, wilayah, atau agama. Kandidat yang berasal dari kelompok identitas yang sama dianggap lebih pantas menerima dukungan, dan pemberian uang memperkuat keterikatan simbolik ini. Antropologi memandang ini sebagai bentuk integrasi antara ekonomi moral dan identitas sosial, di mana keputusan politik mencerminkan loyalitas komunal, bukan rasionalitas individual.
Kampanye sebagai Arena Produksi Budaya Politik
Kampanye politik bukan hanya proses penyampaian program, melainkan arena pembentukan budaya politik. Pasangan calon menggunakan berbagai strategi simbolik dan material untuk menciptakan citra yang sesuai dengan harapan masyarakat. Dalam banyak kasus, kampanye terbuka menjadi ruang untuk mempraktikkan politik uang secara halus, seperti pembagian sembako, uang transport, hiburan gratis, atau bakti sosial.
Antropologi melihat kampanye sebagai ritual politik, yaitu suatu proses simbolik yang menegaskan relasi kekuasaan dan makna sosial. Ritual ini melibatkan pertemuan fisik, pidato, simbol visual, dan pemberian hadiah yang bersama-sama membangun narasi tentang kandidat. Politik uang kemudian dipahami bukan sekadar transaksi, tetapi bagian dari ritual patronase yang telah membudaya.
Faktor-Faktor Sosial Budaya Penyebab Politik Uang
Berbagai penelitian (Fitriani et al., 2019; Hudri, 2020; Putra, 2017) dan dokumen hukum menunjukkan sejumlah faktor yang memengaruhi maraknya politik uang:
1. Faktor Ekonomi
Tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang tinggi membuat masyarakat mudah tergoda oleh pemberian materi. Ketika kebutuhan hidup mendesak, politik uang dipandang sebagai peluang untuk memperoleh pendapatan tambahan.
2. Rendahnya Pendidikan Politik
Pemilih yang minim literasi politik sulit membedakan antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Mereka cenderung pragmatis dan lebih memilih manfaat langsung daripada program pembangunan.
3. Lemahnya Penegakan Hukum
Meskipun aturan pemilu melarang politik uang, banyak pelanggaran yang tidak diproses akibat kurangnya bukti, lemahnya pengawasan, atau intervensi politik. Dalam kondisi ini, politik uang dianggap risiko kecil dengan keuntungan besar.
4. Budaya Patronase
Budaya lokal yang menekankan pada penghormatan kepada tokoh berpengaruh memperkuat sistem patron-klien dalam politik. Tokoh masyarakat sering dijadikan perantara distribusi politik uang untuk memengaruhi suara kolektif.
5. Normalisasi Sosial
Ketika masyarakat telah terbiasa menerima politik uang dari pemilu ke pemilu, praktik ini menjadi norma sosial yang diterima dan bahkan diharapkan.
Dampak Antropologis dan Demokratis Politik Uang
Fenomena politik uang tidak hanya berdampak pada integritas pemilu, tetapi juga menimbulkan sejumlah konsekuensi sosial dan kultural jangka panjang:
1. Hilangnya Rasionalitas Pemilih
Politik uang menggeser partisipasi politik dari ranah rasional ke transaksi material. Pemilih tidak lagi mempertimbangkan kualitas kandidat, melainkan nilai materi yang diterima.
2. Reproduksi Ketimpangan Kekuasaan
Elite yang memiliki modal besar lebih mungkin menang pemilu, sehingga pemimpin yang lahir dari proses politik uang cenderung korup dan menggunakan jabatan untuk mengembalikan modal kampanye.
3. Erosi Kepercayaan Publik
Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi pemilu dan menganggap bahwa politik adalah arena transaksi, bukan perjuangan untuk kepentingan publik.
4. Budaya Politik Transaksional
Dalam jangka panjang, politik uang menjadi budaya yang diwariskan lintas generasi, membuat perubahan politik yang substantif semakin sulit.
Upaya Pencegahan dalam Pendekatan Hukum dan Kultural
Beberapa ahli hukum (Ruslan, 2025; Nail, 2018) menekankan bahwa pencegahan politik uang tidak dapat hanya mengandalkan instrumen hukum. Pendekatan normatif perlu dipadukan dengan strategi kultural dan pendidikan politik agar perubahan terjadi secara berkelanjutan.
1. Penguatan Penegakan Hukum
• Peningkatan kapasitas Bawaslu dan KPU.
• Penerapan sanksi administratif dan pidana secara konsisten.
• Pelibatan masyarakat dalam pelaporan pelanggaran.
2. Reformasi Sistem Kampanye
• Transparansi pembiayaan kampanye.
• Pembatasan kegiatan yang rawan penyalahgunaan seperti konser atau bagi-bagi hadiah.
• Pendanaan kampanye yang lebih ketat dan akuntabel.
3. Pendidikan Politik dan Literasi Demokrasi
• Penguatan kurikulum pendidikan kewarganegaraan.
• Edukasi publik tentang bahaya politik uang.
• Pelibatan organisasi masyarakat sipil.
4. Pendekatan Kultural Berbasis Komunitas
• Pemanfaatan tokoh agama dan adat sebagai agen perubahan budaya politik.
• Pembentukan nilai moral tentang pemilu bersih dalam komunitas.
• Penegasan budaya malu (shame culture) terhadap praktik politik uang.
Daftar Pustaka
Fitriani, N., Wahyudi, A., & Mulyadi, H. (2020). Persepsi Masyarakat Desa terhadap Fenomena Politik Uang dalam Pemilihan Umum. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 7(2), 115–128
Hudri, M. (2020). Budaya Politik Transaksional dalam Pemilu Lokal: Studi pada Masyarakat Pedesaan di Indonesia. Jurnal Politik dan Pemerintahan, 11(1), 44–59.
Kimbal, A., & Sangkoy, R. (2021). Perilaku Pemilih dan Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal Demokrasi & Politik Lokal, 4(3), 221–234.
Mauss, M. (2016). The Gift: Forms and Functions of Exchange in Archaic Societies. Routledge. (Karya klasik rujukan antropologi mengenai pertukaran sosial).
Nail, M. (2021). Kualifikasi Politik Uang dan Strategi Hukum dan Kultural Atas Pencegahan Politik Uang dalam Pemilihan Umum. Jurnal Hukum & Pemilu, 5(2), 245–261.
Putra, A. (2022). Politik Patrimonial dan Kekuasaan Lokal: Studi Kasus Pemilu Legislatif di Beberapa Kabupaten di Indonesia. Jurnal Sosiologi Nusantra, 8(1), 55–70.
Rosalia, R. (2021). Kualifikasi Hukum Politik Uang dalam Pemilihan Umum dan Upaya Pencegahannya. Jurnal Legislasi Indonesia, 18(2), 151–169.
Ruslan, R. (2023). Analisis Yuridis terhadap Penegakan Hukum Politik Uang pada Pemilu 2019. Jurnal Hukum dan Tata Negara, 14(1), 98–113.
Siregar, E. (2024). Praktik Kampanye dan Komodifikasi Suara dalam Pemilu Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia, 45(1), 77–93.
Tempo Institute. (2022). Peta Politik Uang dalam Pemilu dan Pilkada: Hasil Investigasi Lapangan. Jakarta: Tempo Publishing.
Penulis: Tasya Nainggolan, Ilmu Politik USU 2025

