Jambi – Pagi itu, suasana di ballroom Hotel Odua Weston, Kota Jambi, tampak khidmat. Lagu Indonesia Raya tengah berkumandang, menandai dimulainya Musyawarah Daerah (Musda) V Keluarga Besar Putra Putri Polri (KBPP Polri) Daerah Jambi. Para peserta berdiri tegak, beberapa di antaranya tampak menundukkan kepala, larut dalam suasana nasionalisme yang hangat.

Namun di tengah alunan lagu kebangsaan itu, suara dering ponsel memecah kekhidmatan. Satu, dua, lalu beberapa telepon lain berdering hampir bersamaan. Dalam hitungan menit, kabar beredar cepat di antara peserta: pihak pembina Resor disebut mengarahkan agar peserta berpindah lokasi ke Mapolda Jambi.

“Banyak yang tiba-tiba di telpon oleh pihak pembinanya masing-masing,” ujar salah satu panitia yang meminta namanya tak ditulis. “Ada yang bilang dapat telepon langsung, disuruh ke Mapolda.”

Nada suaranya terdengar datar, tapi matanya menunjukkan kegelisahan. Di sekelilingnya, beberapa peserta mulai berbisik-bisik, sebagian melirik ke arah pintu keluar. Aroma kegusaran segera memenuhi ruangan yang semula penuh semangat persaudaraan itu.

Namun akhirnya mereka memilih untuk tetap bertahan berada di Hotel Odua Weston, mereka tetap mengikuti acara di tempat tersebut walaupun pembina mereka terus menelpon dan mengirim pesan WhatsApp agar berpindah ke mapolda Jambi.

“Ini forum yang sah, pelaksananya panitia resmi yang di beri mandat melalui SKep,” kata seorang peserta yang memilih bertahan. “Kalau pun ada arahan lain, itu sudah di luar mekanisme.”

Aroma Intervensi

Ketua Lembaga Pengawasan Penyelenggara Pemerintahan NKRI (LP3NKRI), Peri Monjuli, menyebut peristiwa ini sebagai kemunduran demokrasi organisasi sosial. Ia menilai, jika benar ada tekanan kepada peserta, maka intervensi itu mencederai prinsip independensi yang menjadi fondasi KBPP Polri.

“Kalau pembina ikut mengarahkan peserta, itu sudah keluar dari semangat demokrasi organisasi,” ujar Peri kepada media ini, Jumat, 31 Oktober 2025.

Menurut Peri, KBPP Polri bukan lembaga komando yang tunduk pada garis perintah. Organisasi ini berdiri sebagai wadah anak-anak keluarga besar Polri untuk berperan di ruang sosial, menumbuhkan solidaritas dan pengabdian. “KBPP Polri harusnya menjadi contoh kedewasaan berdemokrasi. Kalau malah diwarnai tekanan, itu langkah mundur dari semangat reformasi,” katanya.

Dua Versi, Satu Legitimasi

Kisruh dua Musda ini bermula dari masa kepengurusan yang telah berakhir sejak Desember 2024. Untuk melaksanakan Musyawarah Daerah dibentuklah panitia resmi dan mempunyai legalitas, panitia yang dipimpin oleh Aris Munandar tersebut kemudian menjadwalkan Musda pada 30 Oktober 2025 di Hotel Odua Weston. Undangan resmi telah disebar, bahkan sebagian peserta sudah mengonfirmasi kehadiran.

Namun, dua hari menjelang acara, beredar informasi bahwa pihak pengurus yang telah demisioner akan melaksanakan Musda yang sama di hari yang sama namun di tempat berbeda, yaitu di Mapolda Jambi

“Beberapa orang takut dianggap melawan pembina kalau tetap ke hotel,” ujar seorang peserta yang hadir di lokasi. “Tapi kami tetap datang, karena pelaksananya adalah panitia resmi yang telah bekerja dari jauh hari.”

Akibatnya, dua forum Musda berlangsung nyaris bersamaan — dengan dua pimpinan sidang dan dua daftar hadir berbeda. Hingga kini, belum ada penjelasan resmi dari Polda Jambi maupun pengurus pusat KBPP Polri tentang mana forum yang dianggap sah.

Jejak Lama dalam Baju Baru

Pengamat organisasi publik, Joni, menilai peristiwa ini menunjukkan betapa kuatnya bayang-bayang kultur komando dalam organisasi binaan institusi negara. Menurutnya, semangat demokrasi di organisasi semacam KBPP Polri sering kali tersandera oleh logika struktural yang terbentuk dari kultur birokratis induknya.

“Ini bukan kasus baru,” ujar Joni. “Banyak organisasi binaan yang masih sulit melepaskan diri dari mentalitas komando. Padahal, ketika mereka bergerak di ranah sipil, seharusnya pola kepemimpinan itu berubah total.”

Joni menilai, konflik seperti ini bukan sekadar perebutan posisi, tapi juga pertarungan nilai. “Apakah KBPP Polri akan menjadi organisasi independen yang demokratis, atau tetap menjadi perpanjangan tangan kekuasaan di luar struktur formal?” katanya.

LP3NKRI Turun Tangan

Peri Monjuli memastikan, lembaganya akan memantau jalannya Musda KBPP Polri Jambi secara independen, termasuk menelusuri potensi pelanggaran etika organisasi. “Kami punya mandat moral untuk mengawal demokrasi publik, termasuk di ruang organisasi sosial,” ujarnya.

Ia mengingatkan agar pembina organisasi di Polda Jambi tidak mencampuri urusan politik internal. “Kalau pembina ikut menentukan arah, independensi organisasi otomatis hilang,” tegasnya.

LP3NKRI, lanjutnya, akan mendokumentasikan temuan lapangan sebagai bahan evaluasi dan laporan moral kepada lembaga terkait. “Kami tidak ingin generasi muda KBPP Polri kehilangan kepercayaan karena perilaku tidak demokratis dari pihak yang justru seharusnya menjadi panutan.”

Demokrasi yang Dibelokkan

Fenomena dua Musda ini menjadi cermin tentang rapuhnya demokrasi internal dalam organisasi sosial binaan negara. Alih-alih menjadi ajang musyawarah untuk regenerasi kepemimpinan, Musda justru berubah menjadi ajang uji kekuatan pengaruh dan loyalitas.

Di satu sisi, panitia di Hotel Odua Weston tetap menjalankan agenda sesuai AD/ART organisasi. Di sisi lain, versi Mapolda mengklaim legitimasi moral karena berada di bawah “pengawasan pembina”. Di antara keduanya, peserta Musda terombang-ambing di antara loyalitas dan nurani.

“Kalau ruang organisasi saja masih bisa diintervensi, maka demokrasi kita belum benar-benar merdeka,” kata Peri menutup pembicaraan.