D. Transformasi BLK UPTD vs UPTP: Produktifkah?

Perbandingan pola pengelolaan UPTD (daerah) dan UPTP (pusat) menyingkap trade-off antara kedekatan lokal dan kapasitas sumber daya.

UPTD memiliki keunggulan responsivitas kontekstual: program dapat disesuaikan langsung dengan kebutuhan industri mikro-regional atau potensi lokal (misalnya pengolahan hasil perkebunan di beberapa kabupaten Jambi, pelatihan vokasi pesantren, ibu-ibu PKK, kelompok remaja, pemuda, dan lainnya). Namun, UPTD sering kali terbatas anggaran dan kemampuan teknologi sehingga skalabilitas dan kualitas instruktur sulit dipertahankan (Suyitno, 2020, hlm. 72).

Sebaliknya, UPTP menawarkan pengelolaan profesional dengan akses APBN, kapasitas peremajaan peralatan, program sertifikasi nasional, serta jaringan magang dan penempatan yang lebih luas—faktor yang meningkatkan produktivitas pelatihan jika daerah tetap aktif dalam penyusunan kebutuhan keterampilan (Permenaker No. 1/2022; Permenaker No. 8/2017).

Secara empiris, pengalihan BLK Jambi ke UPTP membuka potensi peningkatan kapasitas (dari ±900 ke target 6.000–7.000 peserta/tahun) dan perbaikan mutu pelatihan. Namun efektivitas dan produktivitasnya bergantung pada mekanisme PKS yang memastikan penyesuaian konten pelatihan sesuai permintaan lokal serta pendanaan APBD untuk aksesibilitas peserta (Juknis BLK-Komunitas, 2022).

Produktivitas UPTP terukur bila indikator outcome meningkat: jumlah peserta tersertifikasi, rasio penyerapan kerja 6–12 bulan setelah pelatihan, serta kenaikan pendapatan alumni (Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, 2024, hlm. 78). Oleh karena itu, transformasi administratif harus diiringi penguatan monitoring-evaluation (M&E), tracer study, dan inovasi kurikulum untuk menghindari dilema “pencitraan administratif” tanpa peningkatan produktivitas output dan outcome.