Pada titik kesimpulan, revisi RTRW seharusnya bukan menjadi pilihan utama. Solusi terhadap pelanggaran tata ruang tidak terletak pada kompromi terhadap hukum, melainkan pada keberanian kepala daerah untuk menegakkan aturan yang telah disepakati bersama dalam bentuk Perda.

Revisi RTRW hanya relevan jika didasarkan pada perubahan lingkungan strategis yang sahih, bukan pada tekanan ekonomi atau lobi korporasi. Jika tidak, maka kita sedang menggali lubang kehancuran terhadap sistem penataan ruang yang demokratis, adil, dan berkelanjutan.

*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik, Pembangunan Infrastruktur dan Pembangunan Berkelanjutan

Daftar Pustaka
1. Pemerintah Kota Jambi. (2024). Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jambi Tahun 2024–2044. Jambi: Pemkot Jambi.
2. Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Sekretariat Negara.
3. Republik Indonesia. (2020). Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara.
4. Kementerian ESDM. (2017). Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
5. Soja, Edward W. (2010). Seeking Spatial Justice. Minneapolis: University of Minnesota Press.
6. Tajuddin, Martayadi. (2025, 17 September). Polemik TUKS PT SAS: Tuntutan Warga Konstitusional, Bukan Emosional. Diakses dari https://jambidaily.com