Polemik keberadaan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) milik PT Sinar Anugerah Sukses (PT SAS) di kawasan Aur Kenali, Kota Jambi, telah menggelinding menjadi isu yang bukan hanya menyentuh aspek lingkungan dan sosial, tetapi juga menyentuh inti dari sistem hukum tata ruang kita: apakah regulasi ruang masih menjadi penjamin keadilan, atau telah menjadi alat legitimasi untuk kepentingan modal?
Warga secara konsisten menolak keberadaan terminal dan stockpile batu bara yang mereka nilai telah merusak lingkungan, mencemari udara, mengganggu kenyamanan permukiman, serta tidak sesuai dengan zonasi dalam Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi 2024–2044.
Namun yang mencemaskan, isu ini kini mengarah pada upaya revisi RTRW sebagai solusi instan untuk menyelesaikan konflik kepentingan—sebuah pilihan yang, jika tidak dikritisi secara jernih, dapat merusak tatanan hukum ruang secara fundamental.
Perlu diingat bahwa RTRW bukanlah dokumen teknokratis biasa. Ia adalah produk hukum yang lahir dari proses politik, partisipatif, dan ilmiah, yang berfungsi sebagai panduan hukum dalam pengelolaan ruang wilayah (UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang).
Dalam konteks desentralisasi, RTRW Kota Jambi adalah wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Kota Jambi, bukan Pemerintah Provinsi atau Pusat. Oleh karena itu, dugaan pelanggaran terhadap RTRW Kota Jambi oleh PT SAS adalah ranah hukum yang harus ditegakkan oleh Wali Kota Jambi, bukan dialihkan atau dibelokkan melalui upaya revisi dokumen hukum tersebut.
Pasal 109 Perda RTRW Kota Jambi telah mengatur secara tegas bahwa revisi atau peninjauan kembali RTRW hanya dapat dilakukan satu kali dalam periode lima tahunan, kecuali jika terjadi perubahan lingkungan strategis, yang secara limitatif dijelaskan sebagai bencana alam, perubahan batas wilayah, atau perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis (Perda Kota Jambi No. 5 Tahun 2024).
Di sinilah persoalan menjadi krusial: apakah aktivitas batubara seperti yang dilakukan PT SAS dapat dikategorikan sebagai kebijakan strategis nasional?
Secara nasional, memang benar bahwa batubara masih menjadi bagian dari kebijakan energi nasional sebagaimana tercantum dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan dalam beberapa kasus telah masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti hilirisasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) di Sumatera Selatan (Perpres No. 109 Tahun 2020).
Namun penting untuk dipahami, bahwa tidak semua aktivitas batubara secara otomatis menjadi kebijakan strategis nasional. Status tersebut hanya sah jika ditetapkan secara eksplisit melalui regulasi resmi seperti Peraturan Presiden atau masuk dalam daftar PSN yang dikeluarkan pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Hingga hari ini, tidak ditemukan satu pun dokumen resmi yang menyatakan bahwa aktivitas TUKS PT SAS di Aur Kenali termasuk dalam kategori tersebut. Maka menjadikan “kebijakan strategis nasional” sebagai alasan untuk meninjau kembali atau merevisi RTRW Kota Jambi bukan hanya keliru secara normatif, tetapi juga berbahaya secara institusional.
Jika celah ini dibuka, maka preseden buruk akan tercipta: bahwa pelanggaran tata ruang tidak lagi harus ditindak, tetapi cukup dilegalkan dengan mengubah aturan. Logika ini bukan hanya membalik sistem hukum tata ruang, tetapi juga menurunkan derajat hukum lokal menjadi subordinat dari kepentingan korporasi. Dalam kerangka keadilan spasial (spatial justice), hal ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak konstitusional warga atas ruang hidup yang aman, sehat, dan berkelanjutan (Soja, 2010).
Lebih jauh, revisi RTRW demi mengakomodasi satu kepentingan privat akan mengaburkan posisi etis dan hukum pemerintah kota sebagai penjamin keadilan publik. Pemerintah kota tidak lagi menjadi penjaga tata ruang, tetapi berubah menjadi pengelola kompromi. Apalagi jika revisi tersebut dilakukan untuk menyesuaikan pelanggaran yang sudah terjadi, maka fungsi hukum sebagai pencegah (preventif) dan penindak (represif) hilang sama sekali. Hukum menjadi reaktif, bahkan transaksional.
Di sisi lain, Gubernur Jambi patut diapresiasi atas sikapnya yang merespons aspirasi masyarakat dengan cepat, terutama dalam dialog terbuka yang difasilitasi oleh Wali Kota Jambi pada 16 September 2025 di Rumah Dinas Wali Kota. Dalam forum tersebut, Gubernur mengambil keputusan menghentikan sementara aktivitas PT SAS sembari menunggu kejelasan dari otoritas perizinan di tingkat pusat dan proses hukum yang tengah berjalan. Ini adalah contoh sikap responsif dan pro-aspiratif, meskipun secara struktural, tanggung jawab utama tetap berada di tangan Wali Kota sebagai penegak Perda RTRW Kota Jambi.
Pada titik kesimpulan, revisi RTRW seharusnya bukan menjadi pilihan utama. Solusi terhadap pelanggaran tata ruang tidak terletak pada kompromi terhadap hukum, melainkan pada keberanian kepala daerah untuk menegakkan aturan yang telah disepakati bersama dalam bentuk Perda.
Revisi RTRW hanya relevan jika didasarkan pada perubahan lingkungan strategis yang sahih, bukan pada tekanan ekonomi atau lobi korporasi. Jika tidak, maka kita sedang menggali lubang kehancuran terhadap sistem penataan ruang yang demokratis, adil, dan berkelanjutan.
*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik, Pembangunan Infrastruktur dan Pembangunan Berkelanjutan
Daftar Pustaka
1. Pemerintah Kota Jambi. (2024). Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jambi Tahun 2024–2044. Jambi: Pemkot Jambi.
2. Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Sekretariat Negara.
3. Republik Indonesia. (2020). Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara.
4. Kementerian ESDM. (2017). Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
5. Soja, Edward W. (2010). Seeking Spatial Justice. Minneapolis: University of Minnesota Press.
6. Tajuddin, Martayadi. (2025, 17 September). Polemik TUKS PT SAS: Tuntutan Warga Konstitusional, Bukan Emosional. Diakses dari https://jambidaily.com