Pariwisata berkelanjutan merupakan topik populer pada era sekarang (Branwell & Lane, 2005; Lu & Nepal, 2009; Ruhanen et al., 2015). Seiring meningkatnya perhatian global terhadap pemanasan global, perubahan iklim, dan fenomena overtourism, tren pariwisata berkelanjutan semakin mengemuka (Swarbrooke, 2011). Hal ini semakin diperkuat dengan adanya Resolusi Majelis Umum PBB 70/193 yang menetapkan International Year of Sustainable Tourism for Development tahun 2017, serta pengalaman pandemi global 2019–2021 yang mendorong munculnya kesadaran untuk mengembangkan pariwisata yang lebih ramah lingkungan dan budaya.

Konteks Nasional

Di Indonesia, wacana pariwisata berkelanjutan telah berkembang sejalan dengan dinamika global. Sejak awal 1990-an, isu ini mulai dikenal di ranah akademik. Kajian pariwisata berkelanjutan di Indonesia dilakukan sejak periode tersebut (Wall, 1992; 1993), dan segera diikuti akademisi dalam negeri (Gunawan, 1997; Salim, 1995).

Pada akhir tahun 1992, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan UNDP, UNESCO, PATA, dan WTO menyelenggarakan konferensi internasional bertema Universal Tourism: Enriching or Degrading Culture? (Jafari & Nuryamti, 1993). Acara ini dihadiri sekitar 300 peserta dari 20 negara, dengan sustainable tourism sebagai salah satu bahasan utama. Inilah momentum awal diperkenalkannya konsep pariwisata berkelanjutan di Indonesia.

Landasan Hukum

Konsep pariwisata berkelanjutan tertuang dalam berbagai regulasi, antara lain: