Masyarakat lokal yang bergantung pada daerah tersebut untuk mata pencaharian mereka, mulai dari penangkapan ikan subsisten untuk makanan dan kegiatan yang berhubungan dengan pariwisata. Mereka telah melihat penurunan kualitas air sejak penambangan dimulai.

“Mereka telah melihat air menjadi semakin keruh,” kata ahli ekologi kelautan Edy Setyawan yang bekerja di Raja Ampat.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) juga menyatakan keprihatinannya terhadap perluasan pertambangan nikel di Raja Ampat tahun lalu.

Selain perairan, tambang nikel juga bisa berdampak pada krisis iklim.

Sebuah studi dari University of Queensland menganalisis data dari 481 lokasi tambang nikel internasional dan deposit yang belum dikembangkan dan menemukan bahwa jejak tanah dari pertambangan nikel dapat mencapai 4 hingga 500 kali lebih besar dari yang dilaporkan sebelumnya.

“Nikel umumnya digunakan dalam infrastruktur energi terbarukan, seperti baterai dan baja tahan korosi, dan permintaannya diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada 2050 untuk mendukung teknologi rendah karbon,” kata Evelyn Mervine, dikutip dari laman University of Queensland.

“Namun, emisi karbon biomassa dari pembukaan lahan untuk tambang nikel hampir selalu diabaikan dalam penghitungan karbon, laporan keberlanjutan, dan keputusan pembelian bahan baku,” imbuhnya.

Dengan penambangan nikel yang saat ini tidak dapat dihindari, kata Mervine, penelitiannya menyoroti perlunya perusahaan-perusahaan tambang menghindari pengembangan tambang baru di daerah-daerah di mana terdapat ‘karbon yang tidak dapat dipulihkan.’