“Dalam konteks sejarah hubungan sipil-militer di Indonesia, sensitivitas soal keterlibatan militer dalam urusan publik memang masih kuat,” kata Khairul kepada .com
“Maka wajar jika sebagian masyarakat menafsirkan kebijakan ini sebagai bentuk ‘kembalinya TNI’ ke ruang-ruang sipil,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Khairul menilai TNI harus memberikan penjelasan secara rinci kepada masyarakat agar tidak menimbulkan multi tafsir dan memperoleh kepercayaan publik.
“Dengan begitu, publik bisa melihat bahwa ini benar-benar bagian dari desain pertahanan, bukan ekspansi kekuasaan militer,” ujar dia.
Upaya TNI respons pertahanan yang rumit
Di sisi lain, Khairul menilai rencana pembentukan batalyon ini tidak bermaksud untuk semakin melibatkan TNI atau militer dalam ranah sipil.
Ia menganalisa rencana ini sebagai salah satu upaya TNI untuk mengembangkan kekuatan teritorial yang dirancang untuk merespons tantangan pertahanan nasional yang semakin rumit.
Akan tetapi, Khairul menegaskan TNI harus membentuk sebuah desain kelembagaan yang mengatur secara rinci disiplin batas fungsi dengan sipil.
“Selama peran TNI ini ditempatkan sebagai pendukung, bukan pengganti institusi sipil, saya kira tidak ada yang keliru. Yang penting adalah menjaga batas peran dan memastikan tidak terjadi dominasi militer atas ruang-ruang sipil,” tutur dia.
Tak hanya itu, Fahmi menilai TNI telah menghitung secara matang anggaran yang dibutuhkan untuk merekrut 24 ribu prajurit tersebut.
“Saya kira rekrutmen 24 ribu tamtama ini bukan angka spontan, melainkan hasil dari perhitungan kebutuhan organisasi jangka menengah termasuk ketersediaan anggarannya, dan jika dipublikasikan, itu artinya telah mendapatkan persetujuan pemerintah,” tutur dia.