“Tentu saja ini menandai corak kepemimpinan Prabowo yang cenderung militeristik, menganggap militer sebagai kelompok prioritas,” tuturnya.

Tak hanya itu, Dedi menilai rencana pembentukan batalyon itu akan mencederai semangat reformasi yang memperjuangkan supremasi sipil. Ia pun menyebut dengan adanya rencana rekrutmen itu, Prabowo berpotensi dicap sebagai pemimpin yang tak menjunjung tinggi demokrasi.

“Rekrutmen itu tidak ada persoalan, tetapi jika digunakan untuk masuk ke wilayah sipil, ini bisa mengembalikan nuansa pemerintahan Soeharto di era sekarang,” jelas dia.

“Prabowo bisa dianggap berupaya membalikkan kondisi demokrasi Indonesia. Dan pertaruhannya tentu kepercayaan publik,” sambungnya.

Oleh karena itu, Dedi menilai kepercayaan publik terhadap Prabowo berpotensi menurun secara signifikan buntut adanya rencana pembentukan batalyon tersebut. Akan tetapi, ia menilai Prabowo masih memiliki kesempatan untuk mengembalikan kepercayaan publik dengan menunjukkan kepercayaan terhadap supremasi sipil.

“Prabowo perlu mengurangi atau bahkan mengembalikan militer ke wilayah pertahanan murni, dan menguatkan posisi sipil dalam hal kebutuhan yang akan diisi oleh militer,” tuturnya.

TNI harus hati-hati

Pengamat Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi mengamini rencana rekrutmen tersebut turut berpotensi mencoreng citra TNI.

Apalagi, kata dia, komunikasi publik yang dilakukan TNI terkait rencana rekrutmen ini tidak dilakukan secara hati-hati dan tanpa penataan yang rapih.