Terlebih, kata dia, penambahan jumlah personel TNI dalam skala besar merupakan kebijakan strategis yang memerlukan perencanaan menyeluruh, terutama anggaran.
“Saya mengingatkan agar rencana ini tidak bersifat reaktif atau seremonial, melainkan betul-betul berdasarkan kajian strategis yang mempertimbangkan situasi geopolitik, postur pertahanan, serta efisiensi anggaran negara,” kata Oleh dalam keterangannya, Rabu (11/6).
Potensi tumpang tindih jabatan sipil
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai rencana tersebut akan berdampak buruk pada konfigurasi birokrasi pemerintahan yang telah berjalan saat ini.
Ia beralasan puluhan ribu prajurit TNI tersebut berpotensi akan tumpang tindih dengan masyarakat sipil yang telah menduduki jabatan di pemerintahan.
“Perlu diluruskan agenda militer masuk dalam aktifitas sipil, selain karena potensi tumpang tindih, juga bisa hilangkan kemampuan utama militer menjaga kedaulatan Republik dan pertahanan,” kata Dedi kepada .com, Rabu (11/6).
“Jika militer miliki kompi yang secara khusus membidangi urusan sipil, kendali birokrasi yang saat ini ada bisa terganggu, karena di pemerintah sudah ada penanganan bidang-bidang tersebut,” sambungnya.
Militeristik ala Prabowo
Lebih lanjut, Dedi menilai rencana perekrutan ini juga semakin menunjukkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berupaya menguatkan peran militer. Terlebih, kata dia, beberapa waktu lalu pengesahan RUU TNI yang memperluas kewenangan TNI di ranah sipil disahkan meski ada protes dari masyarakat sipil.