Namun, rencana ini menuai kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari berbagai organisasi di antaranya seperti Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, dan Centra Initiative.

Mereka menilai pembentukan batalyon dengan fungsi non-tempur telah keluar dari mandat utama TNI sebagai alat pertahanan negara.

“Dengan demikian, kebijakan perekrutan sebagaimana sedang direncanakan tersebut telah menyalahi tugas utama TNI sebagai alat pertahanan negara sebagaimana diatur dalam konstitusi dan UU TNI itu sendiri,” kata koalisi dalam pernyataan tertulis, Rabu (11/6).

Koalisi menyebut, di tengah kompleksitas ancaman modern, TNI justru perlu fokus memperkuat kemampuan tempurnya. Keterlibatan dalam kegiatan non-militer dikhawatirkan akan mengurangi fokus dan efektivitas TNI dalam menjalankan fungsi pertahanan.

Mereka juga menilai langkah ini mencerminkan kegagalan menjaga batas yang jelas antara ranah sipil dan militer. UU TNI dan UUD 1945, menurut mereka, dengan tegas tidak memberikan kewenangan kepada militer untuk terlibat dalam sektor pertanian, peternakan, maupun layanan kesehatan.




“Kami mendesak Presiden dan DPR untuk melakukan pengawasan dan evaluasi tentang perekrutan dan pelibatan TNI yang berlebihan tersebut karena telah menyalahi jati diri TNI sebagai alat pertahanan negara sesuai amanat konstitusi dan UU TNI,” tegasnya.

Anggota Komisi I DPR RI Oleh Soleh juga meminta agar rencana pembentukan batalyon ini dikaji ulang secara menyeluruh. Ia menilai penambahan personel dalam jumlah besar adalah kebijakan strategis yang memerlukan perhitungan matang, termasuk dalam hal anggaran.