“Penting untuk ditegaskan bahwa klien kami, Bapak Awan Setiawan, tidak pernah melakukan negosiasi langsung dengan pemilik atau penjual tanah,” tambah Didik.

Selain itu, kata dia, seluruh kewajiban perpajakan, termasuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) maupun Pajak Penghasilan (PPh) dari pihak penjual, ditanggung sepenuhnya oleh pemilik tanah, bukan oleh Polinema.

“Ini merupakan bukti bahwa tidak ada pengeluaran negara di luar ketentuan,” ujarnya.

Didik melanjutkan, pengadaan ini telah ditindaklanjuti dengan penandatanganan Akta Pelepasan Hak, dan lahan tersebut telah resmi disertifikatkan atas nama negara serta tercatat dalam daftar Barang Milik Negara (BMN). Artinya, secara hukum, administratif, dan faktual, tanah tersebut telah sah menjadi bagian dari aset negara.

Menurutnya, perkara ini muncul bukan karena kesalahan dalam proses pengadaan, tetapi justru karena penghentian pembayaran sisa harga oleh pimpinan Polinema setelah Awan Setiawan tidak lagi menjabat. Hal tersebut menimbulkan sengketa yang kemudian dibawa ke ranah hukum oleh pemilik tanah.

Sampai saat ini, kata dia, belum ada satu pun hasil audit dari BPK maupun BPKP yang menyatakan adanya kerugian negara. Maka menurutnya menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa dasar kerugian negara yang jelas adalah tindakan yang tergesa-gesa dan tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum.

Ia juga menyebut, Awan merupakan akademisi dan pejabat negara yang telah mengabdi puluhan tahun untuk pendidikan tinggi vokasi di Indonesia. Kliennya itu diklaim menjunjung tinggi integritas dan tata kelola yang baik. Seluruh kebijakan yang juga didasarkan pada pertimbangan kolegial, regulasi yang berlaku, dan semangat memajukan institusi.