Di balik krisis lingkungan ini, tersembunyi pula krisis kemanusiaan yang kerap luput dari perhatian. Para petugas kebersihan dan pengelola sampah pahlawan tak terlihat yang setiap hari berhadapan dengan risiko kesehatan demi menjaga kebersihan lingkungan justru diperlakukan sebagai warga kelas dua. Mereka masih menerima upah di bawah standar kelayakan, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, dan minim perlindungan keselamatan kerja. Paradoks ini mempertanyakan keseriusan pemerintah: bagaimana mungkin sistem pengelolaan sampah diharapkan berjalan optimal ketika mereka yang menjadi tulang punggungnya diperlakukan tidak manusiawi?
Tragedi jebolnya TPA Sungai Penuh beberapa waktu lalu bukanlah kejadian terisolasi, melainkan kulminasi dari tahun-tahun kelalaian sistemik. Respons pemerintah yang reaktif baru bertindak setelah insiden menjadi viral dan tekanan publik menghimpit menunjukkan bahwa pengelolaan krisis masih berbasis citra, bukan berbasis pencegahan. Hingga saat ini, bahkan dokumen AMDAL yang menjadi fondasi legal operasional TPA pun masih berada dalam fase ketidakpastian. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan indikator fundamental betapa isu lingkungan masih belum ditempatkan sebagai prioritas strategis dalam agenda pembangunan daerah.
Himpunan Mahasiswa Kerinci Sungai Penuh (HMKS) Sumatera Barat mengkritisi paradigma “tunggu dan lihat” yang dianut pemerintah daerah. Sementara volume sampah terus bertambah tanpa jeda, kebijakan penanganannya masih tersendat dalam birokrasi yang rumit dan koordinasi lintas sektor yang lemah. Banyak desa dan kelurahan dibiarkan tanpa bekal pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola sampah secara mandiri. Padahal, dengan pendampingan yang tepat dan pemberdayaan komunitas lokal, inisiatif pengelolaan sampah berbasis masyarakat bisa menjadi solusi jangka pendek yang efektif sembari menanti infrastruktur skala besar terwujud.