Pasca-Reformasi 1998, demokrasi Indonesia dirayakan sebagai kemenangan rakyat. Namun, dalam praktiknya, sistem elektoral justru dikendalikan oleh ‘logika logistika’ sebuah mekanisme di mana kekuatan politik diukur dari kemampuan finansial untuk membeli dukungan.
Beberapa indikatornya:
1. Money Politics: Calon legislatif dan eksekutif mengalokasikan dana besar untuk “serangan fajar” atau bagi-bagi sembako.
2. Oligarki Elektoral: Partai politik dikuasai oleh segelintir orang kaya yang memanfaatkan jabatan untuk mengamankan kepentingan ekonomi.
3. Komodifikasi Suara: Rakyat tidak lagi memilih berdasarkan program, melainkan imbalan material.
Laporan Transparency International Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 67% pemilih di daerah pedesaan menerima “bantuan” dari calon. Sementara itu, ‘Indonesia Corruption Watch (ICW)’ mencatat peningkatan kasus korupsi politik pasca-Pemilu 2024.
Dampak terhadap Demokrasi
Logika logistika menggerus esensi demokrasi dengan cara:
-Mematikan Partisipasi Rasional: Pemilih tidak lagi kritis karena tergiur oleh transaksi jangka pendek.
– Meminggirkan Kader Ideologis: Tokoh-tokoh berbasis gagasan sulit bersaing dengan politikus bermodal tebal.
– Memperkuat Oligarki: Kekuasaan terkonsentrasi pada elite ekonomi yang menggunakan politik sebagai bisnis.
Jika kondisi ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia akan menjadi “prosedural belaka’—sebatas ritual elektoral tanpa substansi.
Solusi: Mungkinkah Kembali ke Logika Rasional?
Untuk membendung ‘logika logistika’, diperlukan:
1. Reformasi Pendanaan Politik: Transparansi anggaran kampanye dan pembatasan donasi korporat.
2. Pendidikan Politik: Membangun kesadaran pemilih akan hak-hak substantif, bukan sekadar imbalan materi.
3. Penegakan Hukum: Sanksi tegas bagi pelaku politik uang, termasuk pembekuan partai yang terlibat.
