
Bahkan jika Rifki melontarkan kata-kata kasar saat proses razia, guru tetap tidak berhak membalasnya dengan kekerasan fisik.
Mengelola emosi adalah syarat mutlak seorang pendidik. Seorang guru bukan hanya mengajar matematika atau bahasa Indonesia — mereka mengajarkan nilai, menjadi panutan sikap, memperlihatkan kontrol diri. Ketika seorang guru gagal mengontrol dirinya, maka nilai yang diajarkannya gugur bersama tindakan buruknya.
Lebih berbahaya lagi adalah usaha untuk “menyelesaikan secara kekeluargaan” atas insiden ini.
Penting untuk ditegaskan: kekerasan terhadap anak adalah delik umum. Artinya, sekalipun korban dan pelaku bersepakat berdamai, proses hukum harus tetap berjalan. Negara wajib hadir membela hak anak yang telah dilanggar.
Jika kita membiarkan kasus ini berlalu begitu saja, kita tengah mengirimkan pesan berbahaya kepada seluruh dunia pendidikan:
Bahwa kekerasan bisa ditoleransi. Bahwa pelanggaran terhadap hak anak bisa dinegosiasikan.
Bahwa luka fisik dan trauma psikis seorang anak bisa dianggap “urusan kecil”.
Padahal, luka seperti yang dialami Rifki — luka di bibirnya, sakit di kepalanya, ketakutan di jiwanya — bisa menjadi beban sepanjang hidup jika kita tidak bertindak tegas hari ini.
Anak-anak adalah amanah negara. Menyakiti satu anak berarti menghancurkan bagian dari masa depan bangsa.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan adil, profesional, dan tanpa intervensi kompromi apapun. Dunia pendidikan harus kembali disucikan dari segala bentuk kekerasan — sekecil apapun itu.
Rifki bukan sekadar satu nama dalam berita.
Ia adalah suara dari banyak anak-anak lain yang menuntut perlindungan, penghargaan, dan keadilan.
Jangan biarkan luka Rifki menjadi luka kita semua.