Barangkali niat awal kebijakan ini baik, yaitu membuka ruang keterlibatan mahasiswa dalam ranah akademik. Namun, jika dalam praktiknya mahasiswa lebih banyak “membantu” daripada “belajar”, maka ada baiknya kita mengajukan pertanyaan: Apakah program ini benar-benar membina, ataukah justru sedang memperluas wilayah kerja kampus dengan cara yang kurang adil? Saya rasa, pertanyaan seperti ini penting untuk terus diajukan—bukan sebagai bentuk penolakan, melainkan sebagai wujud kepedulian terhadap marwah pendidikan itu sendiri.

Efisiensi: Retorika Kosong yang Menyembunyikan Kepentingan

Argumen utama dari kebijakan ini adalah “efisiensi anggaran”. Tapi siapa yang benar-benar dihemat? Benarkah penghematan ini menyentuh akar pemborosan institusional? Bukankah sebenarnya yang seharusnya dipangkas adalah anggaran perjalanan dinas yang mubazir, proyek-proyek simbolik para petinggi kampus, atau struktur jabatan yang bertumpuk dan tidak efisien?

Filsafat politik mengajarkan bahwa setiap kebijakan harus berpihak pada publik termarjinalkan—dan dalam kampus, itu adalah mahasiswa. Ketika justru mahasiswa yang dikorbankan demi stabilitas jabatan atau keamanan anggaran birokrat, maka itu adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan distributif ala John Rawls. Dalam Rawlsian justice, kita diingatkan bahwa sistem hanya adil jika hasilnya menguntungkan mereka yang paling lemah dalam struktur.

Tapi di UIN STS Jambi, yang terjadi justru sebaliknya: mahasiswa yang tidak punya kuasa, tidak punya suara, dan tidak punya akses dipaksa menanggung beban kesalahan struktural yang mereka sendiri tidak ciptakan.