Kritik Terhadap Kebijakan KUKERTA UIN STS Jambi: Sebuah Kekacauan Epistemik dan Kekeliruan Etis dalam Nama Efisiensi

Oleh : Tirta Alim Wiliam Diaz (Mahasiswa UIN STS)

Di tengah arus modernisasi dan tuntutan efisiensi institusi pendidikan, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi mengeluarkan sebuah kebijakan yang patut dipertanyakan secara serius: transformasi program Kuliah Kerja Nyata (KUKERTA) ke dalam bentuk yang disebut-sebut sebagai “reformasi berbasis efisiensi anggaran”. Tiga perubahan besar diperkenalkan:

  1. KKN menjadi mandiri
  2. Program magang diubah menjadi laporan KKN, dan
  3. pembentukan program asisten dosen.

Namun, di balik wajah modernitas dan narasi efisiensi ini, tersembunyi sebuah keretakan epistemik dan kekeliruan etis yang sangat mendalam. Dari sudut pandang filsafat, kebijakan ini bukan sekadar masalah teknis administratif—melainkan merupakan refleksi dari krisis pemikiran institusional dan distorsi tanggung jawab sosial.

KKN Mandiri: Kebebasan Tanpa Makna, Absurditas Institusional

Kebijakan KKN mandiri, alih-alih membebaskan mahasiswa, justru melemparkan mereka ke dalam dunia yang tak terstruktur, tanpa dukungan, tanpa arahan, dan tanpa kejelasan. Di sini kita melihat kembali absurditas ala Albert Camus: mahasiswa ditempatkan dalam realitas penuh tuntutan, tapi kosong dari makna. Mereka harus mengisi laporan, menjalankan kegiatan, dan memenuhi kewajiban akademik tanpa infrastruktur yang memadai.

Jika universitas sebagai institusi pendidikan tidak menyediakan alat dan arah, maka “kemandirian” hanyalah kedok untuk pembiaran. Ini bukan pendidikan, ini adalah pengunduran diri negara dari fungsi pendidikannya. Dalam kacamata eksistensialisme, manusia memang bebas. Tapi kebebasan tanpa arah adalah siksaan. Universitas telah menjadikan mahasiswa sebagai Subjek yang terdampar, tanpa kapal, tanpa kompas, dalam lautan birokrasi yang tak peduli.

Baca juga:  Politik Desa: Antara Demokrasi dan Realita, Mencari Jalan Tengah

Laporan KKN sebagai Pengganti Magang: Dekadensi Praksis

Transformasi magang menjadi sekadar laporan akademik adalah contoh paling nyata dari apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai simulasi. Mahasiswa tidak lagi dibentuk melalui pengalaman nyata—melainkan disuruh memalsukan pengalaman dalam bentuk laporan. Dalam masyarakat hiperrealitas, citra lebih penting dari realitas. Maka cukup wajar jika universitas lebih puas dengan laporan, bukan aksi. Namun yang hilang dari sini adalah kualitas keterlibatan, pembentukan profesionalitas, dan jaringan kerja nyata.

Universitas mengabdi pada kemudahan administratif, bukan pada pembentukan intelektual. Dalam perspektif pragmatisme ala John Dewey, pendidikan sejatinya adalah pengalaman yang hidup. Tapi di sini, pendidikan telah menjadi arsip mati. Siswa bukan lagi subjek pembelajaran, melainkan operator sistem.

Asisten Dosen: Instrumentalisasi Mahasiswa

Program asisten dosen yang diterapkan dalam kebijakan baru ini tampaknya perlu ditinjau kembali secara lebih mendalam. Alih-alih menjadi ruang dialog ilmiah dan pembelajaran pedagogis yang mempertemukan mahasiswa dengan dunia akademik secara substansial, ada kesan bahwa program ini justru berpotensi melenceng dari cita-cita tersebut.

Kritik Immanuel Kant harus dihadirkan di sini: mahasiswa bukanlah alat untuk mencapai tujuan dosen. Mereka adalah tujuan pada dirinya sendiri. Namun dalam kebijakan ini, mereka dijadikan alat efisiensi birokrasi. Ini adalah bentuk eksploitasi yang dilumuri dengan bahasa akademis.

Baca juga:  Cara Kaya dan Menang dari SLOT!

Barangkali niat awal kebijakan ini baik, yaitu membuka ruang keterlibatan mahasiswa dalam ranah akademik. Namun, jika dalam praktiknya mahasiswa lebih banyak “membantu” daripada “belajar”, maka ada baiknya kita mengajukan pertanyaan: Apakah program ini benar-benar membina, ataukah justru sedang memperluas wilayah kerja kampus dengan cara yang kurang adil? Saya rasa, pertanyaan seperti ini penting untuk terus diajukan—bukan sebagai bentuk penolakan, melainkan sebagai wujud kepedulian terhadap marwah pendidikan itu sendiri.

Efisiensi: Retorika Kosong yang Menyembunyikan Kepentingan

Argumen utama dari kebijakan ini adalah “efisiensi anggaran”. Tapi siapa yang benar-benar dihemat? Benarkah penghematan ini menyentuh akar pemborosan institusional? Bukankah sebenarnya yang seharusnya dipangkas adalah anggaran perjalanan dinas yang mubazir, proyek-proyek simbolik para petinggi kampus, atau struktur jabatan yang bertumpuk dan tidak efisien?

Filsafat politik mengajarkan bahwa setiap kebijakan harus berpihak pada publik termarjinalkan—dan dalam kampus, itu adalah mahasiswa. Ketika justru mahasiswa yang dikorbankan demi stabilitas jabatan atau keamanan anggaran birokrat, maka itu adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan distributif ala John Rawls. Dalam Rawlsian justice, kita diingatkan bahwa sistem hanya adil jika hasilnya menguntungkan mereka yang paling lemah dalam struktur.

Tapi di UIN STS Jambi, yang terjadi justru sebaliknya: mahasiswa yang tidak punya kuasa, tidak punya suara, dan tidak punya akses dipaksa menanggung beban kesalahan struktural yang mereka sendiri tidak ciptakan.

Baca juga:  Birokrat Unja Bungkam 4 Tahun, Mahasiswa Desak Pemira

Apakah Universitas Masih Waras?

Institusi pendidikan seharusnya menjadi arena pembebasan, bukan ladang penindasan. Ketika kebijakan dijalankan tanpa refleksi, tanpa kritik, dan tanpa keberpihakan pada nilai-nilai intelektual, maka universitas telah kehilangan fungsinya. Ia tidak lagi menjadi kampus dalam arti Yunani—tempat kontemplasi, pencarian kebenaran, dan pertumbuhan spiritual. Ia berubah menjadi pabrik sertifikat, pusat pengarsipan laporan, dan birokrasi eksploitatif yang menanamkan kepatuhan, bukan nalar.

Kebijakan ini tidak hanya mencerminkan kebodohan administratif, tapi juga kejatuhan moral dari sebuah institusi yang seharusnya menjadi garda depan perubahan.

Saya sebagai Mahasiswa , Tidak Diam 

Sebagai mahasiswa , saya tidak akan diam melihat kampus kita runtuh pelan-pelan. Kita memahami bahwa kritik bukan bentuk kebencian, melainkan bentuk cinta tertinggi. Seperti kata Socrates, “ _The unexamined life is not worth living_ .” Maka universitas yang tidak mau dikritik, adalah universitas yang tak pantas hidup.

Kita tidak sedang mencari sensasi. Kita menuntut pertanggungjawaban moral. Kita ingin kebijakan yang logis, etis, dan manusiawi. Dan jika UIN STS Jambi masih ingin disebut universitas, maka ia harus kembali menjadi ruang dialog, bukan diktator kebijakan. (*)