Jambi – Kasus kekerasan terhadap jurnalis di Jambi kembali meningkat, memicu kekhawatiran serius di kalangan insan pers dan masyarakat luas. Aliansi Wartawan Siber Indonesia (AWaSI) Jambi melaporkan insiden terbaru yang menimpa seorang jurnalis media lokal saat sedang menjalankan tugas peliputan. Kekerasan tersebut tidak hanya mengancam keselamatan jurnalis, tetapi juga menjadi pukulan keras terhadap kebebasan pers di wilayah ini.
Peristiwa kekerasan tersebut terjadi pada tanggal 2 November 2024 di kawasan Kotabaru, Kota Jambi. Seorang jurnalis yang tengah meliput konflik antara warga dan pihak perusahaan mendapat serangan fisik dari oknum tak dikenal. Sang jurnalis mengalami luka ringan dan terpaksa menghentikan peliputannya demi keselamatan. Aksi kekerasan ini diduga terjadi karena liputan yang dilakukannya berkaitan dengan isu sensitif yang melibatkan kepentingan pihak tertentu.
Ketua AWaSI Jambi: Serangan terhadap Jurnalis adalah Serangan terhadap Demokrasi
Ketua AWaSI Jambi, Erfan Indiyawan, mengutuk keras tindakan kekerasan ini dan menegaskan bahwa serangan terhadap jurnalis adalah ancaman serius terhadap demokrasi dan kebebasan pers. “Kekerasan seperti ini tidak hanya menyasar individu jurnalis, tetapi juga kebebasan pers secara keseluruhan. Pers adalah pilar keempat demokrasi, dan tindakan kekerasan ini menghalangi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang objektif dan berimbang,” ujar Erfan.
Erfan juga menyerukan kepada pihak kepolisian untuk segera mengusut kasus ini dan menangkap pelaku. Ia menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas agar kasus serupa tidak terus berulang. “Jurnalis di Jambi sudah cukup sering menghadapi tekanan dalam menjalankan tugas mereka. Saatnya tindakan tegas diambil agar keselamatan mereka benar-benar terlindungi,” tambahnya.
Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis: Meningkat dari Tahun ke Tahun
Data dari AWaSI Jambi menunjukkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis di provinsi ini meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2023, tercatat lebih dari 10 kasus kekerasan terhadap jurnalis, termasuk intimidasi, ancaman, hingga serangan fisik. Tahun ini, jumlah kasus sudah mencapai 15, dengan mayoritas korban adalah jurnalis investigatif yang meliput isu-isu sensitif seperti konflik lahan, korupsi, dan lingkungan.
“Para jurnalis di Jambi sering menjadi sasaran intimidasi dan ancaman ketika memberitakan kasus-kasus yang melibatkan kepentingan besar. Ini menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap wartawan di daerah ini,” ungkap Erfan. Ia menambahkan bahwa AWaSI akan terus mendampingi para jurnalis yang menjadi korban kekerasan dan memberikan pendampingan hukum untuk memastikan pelaku kekerasan diproses secara adil.
Desakan untuk Revisi dan Penerapan Perlindungan Hukum bagi Jurnalis
Insiden kekerasan ini mendorong AWaSI Jambi untuk mendesak pemerintah agar memperkuat perlindungan hukum bagi jurnalis. Mereka menekankan perlunya revisi UU Pers agar lebih relevan dengan tantangan era digital dan kondisi di lapangan. “Kita membutuhkan regulasi yang lebih tegas dan upaya penegakan hukum yang nyata. Perlindungan bagi jurnalis harus menjadi prioritas agar mereka bisa bekerja dengan aman tanpa rasa takut,” ujar Sekjen AWaSI Jambi, Andrew Sihite.