Politik Indonesia: Dari Logika Mistika ke Logika Logistika

Opini34 Views

Politik Indonesia telah mengalami pergeseran paradigma yang signifikan sejak era kemerdekaan hingga masa reformasi. Jika pada awal kemerdekaan (1945–1960), Tan Malaka memperkenalkan “logika mistika”—sebuah pemikiran politik yang berakar pada semangat revolusioner dan idealisme kerakyatan—maka di era kontemporer (terutama pasca-Reformasi 1998), politik Indonesia justru didominasi oleh “logika logistika”, di mana kekuatan finansial menjadi penentu utama kemenangan elektoral. Pertanyaannya adalah: Bagaimana transformasi dari politik berbasis ideologi menuju politik berbasis transaksi material ini terjadi? Apa implikasinya terhadap masa depan demokrasi Indonesia?

Logika Mistika: Warisan Pemikiran Tan Malaka

Logika Mistika Tan Malaka bukanlah mistisisme irasional, melainkan sintesis antara rasionalitas revolusioner dan spiritualitas perjuangan. Dalam “Madilog” (1943), ia menolak dogmatisme buta dan menekankan pentingnya pemikiran kritis, tetapi juga percaya bahwa perjuangan politik memerlukan “jiwa” yang melampaui logika formal. Pada masa awal kemerdekaan, semangat ini terwujud dalam gerakan anti-kolonial yang mengutamakan solidaritas rakyat.

Namun, mengapa ‘logika mistika’ tidak bertahan? Salah satu penyebabnya adalah “fragmentasi elite pasca-Revolusi”, di mana kelompok-kelompok politik saling berebut kekuasaan tanpa konsensus ideologis yang kuat. Soekarno mencoba mempertahankannya melalui *Nasakom*, tetapi upaya ini gagal akibat konflik politik 1965.

Logika Logistika: Politik Uang dan Oligarki

Pasca-Reformasi 1998, demokrasi Indonesia dirayakan sebagai kemenangan rakyat. Namun, dalam praktiknya, sistem elektoral justru dikendalikan oleh ‘logika logistika’ sebuah mekanisme di mana kekuatan politik diukur dari kemampuan finansial untuk membeli dukungan.

Beberapa indikatornya:
1. Money Politics: Calon legislatif dan eksekutif mengalokasikan dana besar untuk “serangan fajar” atau bagi-bagi sembako.
2. Oligarki Elektoral: Partai politik dikuasai oleh segelintir orang kaya yang memanfaatkan jabatan untuk mengamankan kepentingan ekonomi.
3. Komodifikasi Suara: Rakyat tidak lagi memilih berdasarkan program, melainkan imbalan material.

Laporan Transparency International Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 67% pemilih di daerah pedesaan menerima “bantuan” dari calon. Sementara itu, ‘Indonesia Corruption Watch (ICW)’ mencatat peningkatan kasus korupsi politik pasca-Pemilu 2024.

Dampak terhadap Demokrasi
Logika logistika menggerus esensi demokrasi dengan cara:
-Mematikan Partisipasi Rasional: Pemilih tidak lagi kritis karena tergiur oleh transaksi jangka pendek.
– Meminggirkan Kader Ideologis: Tokoh-tokoh berbasis gagasan sulit bersaing dengan politikus bermodal tebal.
– Memperkuat Oligarki: Kekuasaan terkonsentrasi pada elite ekonomi yang menggunakan politik sebagai bisnis.

Jika kondisi ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia akan menjadi “prosedural belaka’—sebatas ritual elektoral tanpa substansi.

Solusi: Mungkinkah Kembali ke Logika Rasional?

Untuk membendung ‘logika logistika’, diperlukan:
1. Reformasi Pendanaan Politik: Transparansi anggaran kampanye dan pembatasan donasi korporat.
2. Pendidikan Politik: Membangun kesadaran pemilih akan hak-hak substantif, bukan sekadar imbalan materi.
3. Penegakan Hukum: Sanksi tegas bagi pelaku politik uang, termasuk pembekuan partai yang terlibat.

Penutup

Transformasi dari ‘logika mistika’ ke ‘logika logistika’ mencerminkan degradasi politik Indonesia dari perjuangan ideologis menuju transaksi kapitalistik. Jika tidak ada intervensi sistematis, demokrasi kita akan terus menjadi permainan elite, bukan lagi ruang kedaulatan rakyat. ‘Pertanyaannya sekarang: Mau dibawa ke mana demokrasi Indonesia jika uang tetap menjadi raja?’

Referensi:
1. Tan Malaka, ‘Madilog’ (1943).
2. Edward Aspinall, ‘Democracy for Sale’ (2019).
3. Laporan ICW & Transparency International (2024).
4. Vedi R. Hadiz, ‘Reorganising Power in Indonesia’ (2004).

By Deepseek dari Sambutan Anas Urbaningrum, Presiden Pimnas PPI