Yogyakarta – Yayasan Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji yang berlokasi di Kalasan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), membantah adanya dugaan tindakan penganiayaan terhadap salah satu santrinya, KDR (23).
Kuasa hukum Ponpes Ora Aji, Adi Susanto, menyatakan bahwa 13 individu yang dituduh sebagai pelaku penganiayaan merupakan sesama santri, bukan bagian dari pengurus pondok yang diasuh oleh pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman.
“Saya mewakili 13 santri tersebut sebagai kuasa hukum. Kami menegaskan, dari pihak yayasan membantah telah terjadi penganiayaan. Insiden yang terjadi di lingkungan ponpes adalah reaksi spontan dari para santri, tanpa adanya bentuk koordinasi apa pun,” kata Adi saat memberikan keterangan di Kompleks Ponpes Ora Aji, Kalasan, Sleman, Sabtu (31/5).
Adi mengakui memang sempat terjadi kontak fisik antara belasan santri dengan KDR pada Februari 2025. Namun, menurutnya, kejadian tersebut terjadi secara spontan sebagai bentuk teguran moral yang lazim dalam lingkungan pergaulan santri. Ia juga menyebut bahwa narasi korban terkait penyiksaan seperti diikat, dipukul dengan selang, hingga disetrum dianggap terlalu dilebih-lebihkan.
Insiden itu, ujar Adi, dipicu setelah KDR mengaku bertanggung jawab atas serangkaian pelanggaran, mulai dari vandalisme, pencurian barang milik santri, hingga menjual air galon tanpa izin dari pihak pengelola.
Adi juga membantah adanya unsur pemaksaan dalam proses pengakuan tersebut. “Berdasarkan versi dari para klien kami, pengakuan itu muncul secara sukarela setelah dilakukan pendekatan secara persuasif oleh para santri,” jelasnya.
“Setelah itu, muncullah aksi spontan. Benar-benar spontan, dan sebenarnya bentuk perhatian. Karena mereka merasa, ‘Ini santri kok mencuri?’” tambah Adi.
Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, KDR pergi meninggalkan ponpes tanpa pamit. Tak lama kemudian, 13 santri yang terlibat dilaporkan ke pihak berwajib dan kini telah berstatus tersangka berdasarkan hasil penyelidikan Polresta Sleman.
Meski demikian, 13 santri itu belum ditahan. Adi menyebut hal ini merupakan hasil dari permohonan penangguhan penahanan yang diajukan pihaknya, mengingat para terduga masih berstatus santri aktif, dan empat di antaranya adalah anak di bawah umur. Ia juga menyebut bahwa yayasan sempat berupaya menyelesaikan perkara ini lewat mediasi.
“Pihak yayasan sudah menunjukkan itikad baik, bahkan menawarkan bantuan dana sebagai bentuk tanggung jawab moral untuk membiayai pengobatan,” ujar Adi. Namun, nominal kompensasi yang ditawarkan tidak sesuai dengan tuntutan pihak korban, sehingga upaya mediasi tidak mencapai kesepakatan.
Adi juga mengungkap bahwa salah satu dari 13 santri tersebut telah melaporkan KDR ke polisi atas dugaan pencurian uang senilai Rp700 ribu. Hingga kini, menurutnya, KDR belum mengembalikan kerugian yang dialami santri. Laporan tersebut sudah diajukan ke Polresta Sleman pada Maret 2025 dan kini dalam penanganan. Kapolresta Sleman, Kombes Pol Edy Setianto Erning Wibowo, telah membenarkan laporan tersebut.
Sementara itu, dugaan penganiayaan terhadap KDR pertama kali disampaikan oleh kuasa hukum korban, Heru Lestarianto. Peristiwa itu disebut terjadi pada 15 Februari 2025, dipicu oleh tudingan bahwa korban menjual air galon milik ponpes tanpa izin senilai Rp700 ribu.
Kepada tim hukumnya, KDR mengaku dianiaya oleh 13 orang yang disebut sebagai pengurus-santri dalam dua sesi berbeda. Ia menyatakan bahwa selama penyiksaan berlangsung, dirinya dibawa ke salah satu ruangan di area ponpes dan dianiaya secara bergiliran maupun bersamaan menggunakan selang dan alat setrum.
“Penyiksaan dilakukan untuk memaksa klien kami mengakui ke mana hasil penjualan air galon itu,” jelas Heru pada Kamis (28/5).
Pihak korban menyesalkan adanya tindakan main hakim sendiri serta sikap ponpes yang dinilai kurang serius menangani kasus ini. Mereka juga mempertanyakan alasan para tersangka tidak ditahan meskipun sudah resmi ditetapkan oleh kepolisian.
Dalam hasil penyelidikan, aparat mendapati adanya pemukulan menggunakan benda tumpul dan tangan kosong. Namun, belasan santri itu belum ditahan karena dinilai kooperatif selama proses hukum berlangsung.