Jakarta — Polrestabes Medan menetapkan siswi kelas VI sekolah dasar (SD) berinisial A (12) sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. A diduga menikam ibu kandungnya hingga 26 tusukan di kediaman mereka di Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, pada 10 Desember 2025.

Kapolrestabes Medan Kombes Pol Jean Calvijn Simanjuntak mengatakan, saat ini A telah ditempatkan di rumah aman. Dalam penanganan perkara tersebut, kepolisian mengedepankan pendekatan perlindungan anak dengan mengupayakan diversi.

Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana formal ke proses di luar peradilan pidana. Mekanisme ini mengedepankan keadilan restoratif untuk mencapai perdamaian, menanamkan tanggung jawab kepada anak, serta menghindarkannya dari pidana penjara. Diversi diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

“Diharapkan (anak) diserahkan kepada orang tuanya, tapi nanti kita lihat prosesnya. Saat ini posisinya berada di rumah aman. Saat peristiwa terjadi, A berusia 12 tahun 37 hari,” ujar Jean Calvijn, Senin (29/12).

Dalam kasus ini, A dijerat Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, subsider Pasal 338, dan subsider Pasal 340 KUHP. Polisi turut melibatkan psikolog, Balai Pemasyarakatan (Bapas), Dinas Sosial, serta Dinas Pendidikan dalam proses pendampingan.

“Selama berlangsungnya proses ini, kebutuhan mendasar kami berikan dengan baik. Hak pendidikan, agama, dan bermain tetap diberikan. Anak juga didampingi Polwan dan Unit PPA. Dari skala satu sampai sepuluh, anak merasa nyaman di angka sepuluh,” kata Calvijn.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, A menunjukkan penyesalan atas perbuatannya. Motif penikaman disebut dipicu rasa sakit hati yang telah lama terpendam. Menurut Calvijn, A dan kakaknya kerap mengalami kekerasan verbal maupun fisik dari korban dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

“Penyesalan tentu, bagaimana rasa seorang anak terhadap ibunya. Kekerasan adik dan kakak sudah berlangsung tiga tahun terakhir, jadi sering dimarahi anaknya,” ujarnya.

Dari pemeriksaan penyidik, kakak dan A disebut kerap dipukul menggunakan sapu dan tali pinggang. Selain itu, A juga beberapa kali dicubit oleh korban. Kondisi tersebut memicu kemarahan A.

“Kakak sering dimarahi dipukul menggunakan sapu dan tali pinggang. Adik sering dimarahi dan dicubit,” jelas Calvijn.

Polisi juga menemukan adanya kondisi keluarga yang tidak harmonis. Hubungan korban dengan suaminya disebut telah lama bermasalah, bahkan keduanya tinggal terpisah lantai di dalam rumah.

“Memang posisi tidak menguntungkan bagi ayahnya. Berdasarkan keterangan tetangga dan keluarga, status keduanya tidak harmonis. Ayah tinggal di lantai dua, sementara ibu dan anak-anak di lantai satu,” katanya.

Selain itu, A juga disebut merasa sakit hati karena game online di ponselnya dihapus oleh korban. Menurut Calvijn, A kerap bermain game online Murder Mystery dan menonton serial anime Detective Conan.

“Anak sakit hati karena game online-nya dihapus. Dari situ A termotivasi. Ia melihat game Murder Mystery pada season Kills Others menggunakan pisau, serta menonton anime Detective Conan episode 271 dengan adegan pembunuhan menggunakan pisau. Itu yang menjadi latar belakang penggunaan pisau,” paparnya.

Meski demikian, Calvijn menegaskan bahwa penanganan perkara ini dilakukan secara sangat hati-hati dan mendalam. Proses penyelidikan juga berada di bawah pengawasan Bareskrim Polri dan Polda Sumatera Utara.

“Kami melakukan penyelidikan secara mendalam. Proses ini juga diawasi oleh Bareskrim dan Polda,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Utara, Dwi Endah Purwanti, mengimbau masyarakat untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan.

“Kami mengajak masyarakat untuk menghormati dan mempersilakan aparat penegak hukum melanjutkan proses ini dengan tetap memberikan perlindungan kepada anak,” katanya.

Dwi Endah juga menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan identitas anak dengan tidak menyebarkan nama maupun foto yang bersangkutan.

“Tidak menyebarkan identitas maupun foto-foto anak adalah bagian dari perlindungan. Mari jadikan kasus ini sebagai pembelajaran bersama, terutama bagi orang tua tentang tanggung jawab pola asuh dan penciptaan ruang tumbuh anak yang kondusif,” ujarnya.